Sunday, 30 January 2022 | 13:51 Wita

Kenikmatan-kenikamatan Ber-Hidayatullah

Editor: admin
Share

Oleh : Ust. Drs. Muhammad Na’im Thahir, Ketua Dewan Murabi Wilayah Hidayatullah Sulawesi Barat

HidayatullahSulsel.com — Alhamdulillah, yang terasa hebat di Hidayatullah ini adalah kemanapun kita berkunjung, secara kultural amanah atau jabatan kita selalu juga melekat dan berlaku di mana saja.

Kehadiran kami di Pesantren Hidayatullah Bollangi Gowa ini, meski hanya mengantar istri mengikuti “Daurah Murabbiyah Ula se-Sulselbar” yang dilaksanakan 3 hari sejak Jum’at kemarin, tapi saya memboyong seluruh orang di rumah untuk datang.

Meskipun sempat bertanya-tanya sebelumnya, kenapa tempatnya jauh sekali dari perbatasan Sulbar, tapi karena yakin bahwa tentu saja keputusan tersebut merupakan hasil musyawarah maka harapan pribadi kita harus takluk oleh rekayasa Allah.

Apalagi kita memahami bahwa menuntut ilmu itu wajib, maka segala sesuatu yang menyertainya juga menjadi wajib, dan semua itu adalah jalan-jalan menuju surga.

Setelah sampai di tempat ini, masya Allah suasana dan pemandangannya sangat luar biasa, kita disambut oleh tuan rumah dengan penyambutan yang sangat luar biasa. Kita bisa menikmati view lampu-lampu kota Makassar dari atas, kalau pengantar saja disajikan konsumsi yang banyak dan enak-enak, bisa dibayangkan bagaimana dengan peserta daurah, Alhamdulillah.

Inilah kultur dan kekayaan kita di lembaga ini, bahwa siapa pun yang datang berkunjung akan dimuliakan, dilayani dengan baik, ke pondok manapun kita singgah atau berkunjung, suasananya insyaaAllah akan sama, dan itu sangat berkesan.

Memang sudah semestinya seperti itu, sebagaimana para sahabat Muhajirin dan Anshar saling memuliakan, kita aplikasikan di Hidayatullah.

Kesan itu juga yang saya rasakan ketika awal bergabung di Hidayatullah, setelah jadi alumni IAIN Jurusan Bahasa dan Sastra Arab.

Saya bertemu dengan da’i-da’i awal Hidayatullah di Ulu Kalo, ada Ust Abdul Madjid, Ust Abu Bakar Muis dan Mardhatillah.

Sebenarnya kalau kita lihat secara fisik bangunan dan tampilan para da’i Hidayatullah sangat tidak parlente (tapi jika dipandang sungguh menarik).

Hanya datang berkebun, asramanya sangat memprihatinkan, tapi kesannya membawa misi perjuangan dengan semangat persaudaraan itulah yang akhirnya mengantar saya menerima hidayah untuk melebur di Hidayatullah.

Saat itu sebenarnya saya sudah bergelut dengan dunia usaha ; mesin-mesin pertanian seperti traktor dan lain-lain itu sudah punya, rumah pribadi juga sudah ada, tapi rasanya tidak memberikan kesejukan.

Dalam beberapa kesempatan saya diantar oleh petugas Hidayatullah berkunjung dan bermalam di Gunung Tembak, ke Hidayatullah Bontang, merasakan suasana kampus yang sangat bersahaja dan penuh persaudaraan.

Hingga akhirnya suatu ketika ada acara di Ulu Kalo yang dihadiri langsung oleh Pemimpin Umum Hidayatullah.

Malam harinya beliau yang langsung memimpin shalat lail, meski sudah sering shalat lail bahkan menjadi imam, tapi baru kali itu sepertinya saya merasakan nikmatnya shalat lail.

Jadi sebenarnya sesederhana apapun tampilan kita, yang penting tersibgah dengan kultur di Hidayatullah maka pada akhirnya akan melahirkan pengaruh yang luar biasa.

Dengan adanya kultur yang kuat, sehingga ada perimbangan. Yabg perlu kita waspadai jangan sampai secara struktural Hidayatullah sudah ekspansi ke mana-mana tapi gersang, jati diri Hidayatullah tidak dijaga, amalan “wajibnya” shalat lail, bacaan Qur’an dan semua agenda GNH bermasalah, maka hampir bisa dipastikan kalau Hidayatullah tidak lagi berada pada apa yang dicita-citakan.

Saya menerima amanah sebagai Ketua DMW itu sangat berat karena tugasnya harus mengawal spirit para kader. Hanya saja yang saya syukuri karena berpartner dengan departemen perkaderan di wilayah maupun daerah dalam menjaga ritme perjuangan yang tentu saja tidak sederhana.

Bersyukurlah kita dengan kegiatan “Daurah Murabbiyah Ula” yang dilaksanakan di Hidayatullah Bollangi ini.

Harapannya kalau di setiap daerah, semua Ibu-ibu sudah terlibat ber-halaqah dibimbing murabbiyah yang sudah mengikuti daurah ini, maka ke depan akan sangat membantu pergerakan dalam menjaga ritme perjuangan.

Ada 3 nikmat besar yang harus disyukuri di Hidayatullah ini.

Yang pertama adalah nikmat ber-ukhuwah, karena memelihara hidayah yang selalu kita minta dalam shalat ;
{ ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ }
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”

[Surah Al-Fâtihah: 6]

Shalat harus dengan berjamaah, agar orientasi berpikir dan karya kita senantiasa terjaga.

Sejak awal di Hidayatullah saya menikmati kebersamaan, kita bisa meminimalisir gesekan karena orientasinya perjuangan, kalau ada kader yang lose oriented, maka harus segera diperingati, kalau petugas sampai bermasalah maka lembaga juga akan terkena imbas dari masalahnya.

Saya melihat kenapa ada petugas yang tidak betah di tempat tugasnya, bisa jadi karena orientasinya tidak murni lagi perjuangan, sudah lari ke mana-mana.

Padahal yang dihibur oleh Allah itu selalu orientasinya orang beriman, wabassyiril mu’munin.

Meski kita di Hidayatullah tidak bersaudara secara biologis, namun kita bersaudara dalam keimanan dan perjuangan dan itu adalah ikatan yang lebih kuat dari ikatan biologis.

Malah kalau ada di Hidayatullah yang berkelompok-kelompok karena kedekatan biologis itu bisa bahaya apalagi kalau warnanya sudah dominan.

Sekali lagi bahwa ukhuwah di Hidayatullah ini adalah kekayaan luar biasa, sehingga persaudaraan yang kita rasakan sama saja, ke mana saja kita pergi atau bertugas di Hidayatullah, itu yang saya rasakan di Ulu Kalo, Kendari, juga di Mamuju.

Ukhuwah inilah yang mesti kita rawat, kita jaga dan sekali lagi kita syukuri karena telah dipersaudarakan di Hidayatullah.

Terkadang juga lucu, karena ada orang baik yang ditugaskan ke suatu tempat, bertemu dengan orang baik tapi tidak cocok, ini pe-er murabbi yang harus diretas bersama.

Nikmat yang Ke-dua, ada tempat untuk kita berkarya. Bollangi ini luar biasa daya tarik serta perkembangannya, sudah kelihatan seperti apa ini ke depan, keunggulannya karena view dan jaraknya yang sangat dekat dengan Kota Makassar.

Di tempat-tempat seperti inilah kita memiliki kesempatan untuk mengukir sejarah amal jariyah

Apalagi di sini sudah ada praktisi ekonominya dengan Pabrik Teh Kelor-Aja yang khasiatnya sudah saya rasakan, hilang semua sudah pegal-pegal karena perjalanan dari Mamuju sampai di sini setelah menikmati Teh Kelor-Aja

Ada juga ahli bangunan, ada humas, yang kadang potensi-potensi luar biasa seperti ini yang tidak bisa dikembangkan kalau tidak ada kampus-kampus.

Seperti itulah Nabi menyatukan dan menyusun potensi yang dimiliki para sahabat, ada yang ahli strategi, ada yang ahli ekonomi, ada yang ahli negosiasi dipadukan menjadi sebuah kekuatan besar dalam satu komando sami’na wa ata’na.

Dan yang terakhir adalah nikmat ber-Islam dengan pola Sistematika Wahyu, dengan Jati Diri Hidayatullah serta Gerakan Nawafil Hidayatullah yang menjaga spirit kita selama 24 Jam, inilah orientasi hidup kita, inilah yg membuat kita terus bersemangat meski di DMW itu adalah orang-orang tua tapi semangatnya insyaaAllah muda terus, Allahu Akbar.■ dt

*) Dari tausiah bada subuh di Masjid Pesantren Hidayatullah Bollangi Gowa