Tuesday, 8 November 2022 | 15:55 Wita

Sang Murobbi, Ustad Ismail Muhtar

Editor: Humas DPW Hidayatullah Sulsel
Share

SOSOK, HidayatullahSulsel.com — Murobbi itu tidak sekadar mengajarkan sesuatu. Tapi lebih dari itu, dalam waktu bersamaan, Murobbi mencoba untuk mendidik rohani, jasmani, fisik, dan mental mutarabbinya (anak didiknya) untuk menghayati dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajari.

Seorang Murabbi lebih berkonsentrasi penghayatan sesuatu ilmu, sekaligus membentuk kepribadian, sikap dan kebiasaan anak didiknya.

Jika, tugas “Muallim” banyak melayang di “akal” namun tugas Murabbi melayang di “hati”.

***

Pagi itu, saya dalam perjalan untuk mengikuti halaqah Wustho di Hidayatullah Soppeng, hape ku berdering. Sambil melaju di atas motor, hape saya angkat.
Tertulis nama Ustad Ismail Muhtar, sang Murobbi memanggil via telpon.

“Assalamualaikum…” ucap beliau via telpon
“Waalaikum salam…” Jawabku singkat.
“Sudah dimana posisi?” tanya sang Ustad.
“Dah masuk Wajo Ustad, insyallah 40 menit lagi tiba” jawabku.
“Iye, hati-hati, semoga selamat…” ujat sang Murobbi sambil mendoakan.

Ya, masih jam 6 lebih 30 menit, matahari rendah, dan nampak semakin meninggi, Aku menyusuri jalan poros Sidrap-Wajo. Ku gas motor Vixionku. Tidak bisa juga lari kencang, karena sudah tua, tapi suaranya cukup menggelegar. Membelah jalan, seperti motor anak muda.

Tujuannya, hendak menghadiri halaqah wustho Abdurrahman bin Auf di Hidayatullah Soppeng. Yang akan dilangsungkan pagi ini, Selasa (8/11/2022(, jam 8 pagi.

Peserta halaqahnya dari 3 daerah, Wajo, Sidrap, dan Soppeng. Halaqah digelar secara bergantian, di tiga kabupaten bertetanggaan ini. Halaqah Abdurrahman bin Auf ini digelar setiap dua pekan sekali. Pesertanya 9 orang, bersama murobbinya.

Saat dalam perjalanan itu, dapat telpon dari sang Murobbi, Ustad Ismail, sekedar mengecek keberadaan ku, mutarabbi nya, juga mendoakan. Agar selamat sampai tempat halaqah. Saya tiba telat, jam 8 lebih 15 menit.

Adalah Ustad Ismail Muhtar, yang ditunjuk sebagai Murobbi kami. Selama kegiatan halaqah, beliau tidak pernah telat. Sejak semalam, beliau sudah tiba di lokasi halaqah. Jauh lebih dahulu, tiba dari peserta yang lain.

Tiga kali halaqah berturut-turut, beliau menginap di tempat acara, agar tidak terlambat. Bahkan, saat halaqah di Sidrap, beliau tiba jam 3 subuh. Jam dua malam berangkat dari Lamatanre, agar tidak telat.

“Saya berangkat malam ini” infonya via wa group halaqah Abdurrahman bin Auf.

Ustad Ismail Muhtar, sudah cukup lama ber-Hidayatullah, beliau bergabung di Hidayatullah sejak Februari 1991. Beliau lama bertugas di Hidayatullah Pusat Balikpapan, Gunung Tembak (Gutem), hingga 1998.

Dulu, saat saya santri di Gutem, beliau adalah seorang guru, juga pernah menjabat kepsek di MTs Radhiyatan Mardiyah. Pernah tugas di pemasaran Majalah Hidayatullah Karang Bugis, juga pernah menggawangi unit koperasi di Gutem.

Tahun 1998, beliau tugas untuk perintisan Hidayatullah di Mamuju. Sekitar tahun 2000an, saya pernah jumpa beliau saat merintis Hidayatullah Mamuju. Saat itu Hidayatullah Mamuju masih gubuk-gubuk bambu.

Mamuju waktu itu masih Sulsel. Salah satu kabupaten terjauh di ujung utara Sulsel. Mamuju kini sudah menjadi ibukota Sulbar.

Tugas beliau berpindah-pindah, dari Mamuju, ke Bungadidi. Satu tahun di Bungadidi, beliau diamanahkan ke Bulukumba. Setelah itu berpindah tugas lagi di Hidayatullah Bone.

Tahun 2021, di usia yang sudah 60 tahun, dengan jenggot sudah putih, beliau kembali ditugaskan, untuk merintis Hidayatullah di Lamatanre, Suppa, Pinrang. Juga menjadi staff Pemimpin Umum Hidayatullah.

Sosok Murobbi ini tidak kenal lelah, konsistensinya untuk menghidupkan roh mutarabbinya tidak pernah surut. Dalam halaqah, beliau selalu bersemangat, dan tidak pernah tertinggal dalam mengamalkan amalan gerakan nawafil Hidayatullah.

Mulai dari sholat lail, ngaji satu juz setiap hari, wirid pagi sore dan malam, semua tidak pernah ketinggalan. Beliau patut ditauladani.

Ia tidak banyak berkata. Ia hanya banyak berbuat. Apa yang beliau lakukan, lebih bermuatan tauladan, senantiasa mengandalkan qaulan tsakila, dan uswatun hasanah.

Dalam perjalanan hidupnya, beliau senantiasa menjaga murua’ah ideologis Hidayatullah. Beliau menjaga diri untuk tidak berperilaku hedonis.

Belum ada di benaknya untuk mengkapling sawit, tidak ada juga pikirannya untuk “menguasai” yayasan. Juga apalagi kaplingan perumahan.

Baginya, semua berjalan saja, ditugaskan dimana saja, dalam rangka ketaatan kepada pemimpin. Hal ini untuk menjaga nilai-nilai idealisme kemurabbiannya.(*)

*) Oleh : Sarmadani Karani, Ketua DPD Hidayatullah Sidrap