Friday, 18 November 2022 | 14:54 Wita

Menjadi Hamba yang Taat

Editor: Humas DPW Hidayatullah Sulsel
Share

Oleh : Baso Dzulfikar, Manager BTH Sulsel Cabang Makassar

HidayatullahSulsel.com — Allah ta’alla berfirman

اِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذَا دُعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ اَنْ يَّقُوْلُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَاۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan “kami mendengar dan kami patuh” dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS An-Nuur : 51)

Karakter dasar orang beriman adalah senantiasa mendengar dan taat terhadap apapun yang menjadi ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Mendengar artinya mereka berusaha sungguh-sungguh memahami kehendak Allah dan Rasul-Nya.

Sedang ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan dalam menjalankan syariat, baik berupa
perintah maupun larangan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

Jadi, setelah mereka memahami, tanpa banyak bertanya atau
mempertanyakan segera mereka ikuti dengan ketundukan dan kepatuhan untuk menjalankannya. Kewajiban untuk taat kepada syariat ini dijelaskan oleh Allah dalam ayat yang lain :

ثُمَّ جَعَلْنٰكَ عَلٰى شَرِيْعَةٍ مِّنَ الْاَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui.” QS Al-Jatsiyah : 18

Mengapa kita harus taat ? Untuk menjawabnya mari kita renungi kembali kejadian kita di dunia ini. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Insaan : 1-2 :

هَلْ اَتٰى عَلَى الْاِنْسَانِ حِيْنٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْـًٔا مَّذْكُوْرًا اِنَّا خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ نُّطْفَةٍ اَمْشَاجٍۖ نَّبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنٰهُ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang Dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan Dia mendengar
dan melihat.”

Tidak ada satupun manusia yang sebelumnya punya keinginan untuk menjadi manusia. Bagaimana mungkin kita punya keinginan kalau pada waktu itu kita belum ada, belum menjadi sesuatu yang dapat disebut apapun.

Demikian juga Allah tidak
pernah meminta pendapat atau persetujuan kita sebelum Dia menciptakan kita, sebab
bagaimana mungkin bisa dimintai pendapat kalau kita sendiri belum ada.

Kita hadir ke dunia mutlak karena kehendak Allah. Allah yang punya rencana untuk menghadirkan
kita ke dunia. Bukan kita. Untuk apa kita diciptakan dan bagaimana seharusnya kita hidup hanya Allah yang mengetahuinya.

Agar bisa memahami kehendak Allah itu maka dengan kasih sayang-Nya kita diberikan pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar bisa memahami.

Dan agar bisa menjalani hidup dengan baik maka diturunkanlah Al-Quran sebagai pedoman dan diutuslah Nabi untuk menjelaskannya dan memberikan contoh pengamalannya. Manusia tidak mungkin bisa menjalani kehidupan ini dengan baik
tanpa berpedoman kepada ketetapan Allah dan Rasul-Nya.

Seperti orang yang berjalan di kegelapan malam, walaupun matanya terbuka tetapi kalau dia tidak melihat cahaya maka dia akan terantuk-antuk dan tidak pernah sampai ke tujuan. Seperti
rambu-rambu lalu lintas, ada jalan yang harus kita ikuti dan ada jalan yang tidak boleh kita lewati.

Karena itu perintah dan larangan Allah sesungguhnya adalah koridor jalan yang akan mengantarkan kita sampai kepada tujuan.

Allah Maha Tahu segalanya. Tidak ada yang tersembunyi dari pengetahuan Allah, baik yang ghoib maupun yang nyata. Dia yang menciptakan kita juga tahu persis segalanya tentang kita, lahir maupun batinnya. Jasmani maupun ruhaninya.

Di sisi lain, walaupun manusia adalah makhluk paling sempurna dibandingkan makhluk ciptaan Allah yang lain, dia tetap terbatas pengetahuannya. Manusia hanya tahu sebatas yang diajarkan Allah kepadanya.

الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ

“Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-Alaq : 4-5).

Dia yang Maha Tahu tentang makhluk ciptaan-Nya ini juga tahu betul bagaimana seharusnya manusia menjalani hidup. Manusia senantiasa membutuhkan
bimbingan Allah. Karena itu, sebagai makhluk yang terbatas kemampuannya, di hadapan Allah yang pengetahuan-Nya tak terbatas, tidak ada sikap yang lebih baik kecuali tunduk, patuh, dan taat sepenuhnya terhadap apapun ketetapan Allah.

Mari kita ambil perumpamaan. Seandainya kita sakit, kemudian kita konsultasi ke dokter. Dokter mengatakan bahwa kita menderita sakit maag yang akut. Dokter menyarankan agar kita meninggalkan makanan-makanan tertentu. Tidak boleh makan yang pedas-pedas atau yang masam-masam.

Tidak boleh terlambat makan. Hanya boleh makan makanan tertentu, dan sebagainya. Kalau kita ingin sembuh tentu kita akan menuruti perintah dokter itu. Mengapa demikian? Kita menganggap dokter lebih tahu tentang penyakit kita.

Perintah dan larangan Allah adalah wujud kasih sayang-Nya kepada kita. Allah memberi kita perintah karena Allah tahu betul bahwa apa yang diperintakan-Nya itu bermanfaat bagi manusia.

Allah memerintahkan kita sholat, puasa, menolong orang lain, berbuat jujur, menjaga kebersihan jasmani dan ruhani, dan perintah-perintah yang lain karena semua itu dibutuhkan manusia. Semua yang diperintahkan adalah apa yang membawa kebaikan, keselamatan, keberuntungan, dan kebahagiaan.

Demikian juga larangan-Nya, semata-mata untuk mencegah kita dari kehancuran. Apa yang dilarang Allah adalah hal-hal berbahaya yang akan membawa manusia kepada kerusakan jika manusia melakukannya. Allah melarang kita mendekati zina,
berjudi, minum khamr, melakukan korupsi, dan larangan-larangan yang lain karena semua itu akan membawa kehancuran bagi kehidupan manusia. Allah berfirman
dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf : 33 :

قُلْ اِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْاِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَاَنْ تُشْرِكُوْا بِاللّٰهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهٖ سُلْطٰنًا وَّاَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar,(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”.

Karena itu, adanya perintah dan larangan itu harus kita sambut dengan penuh kesyukuran karena dengan itu kita bisa mendapatkan apa yang bermanfaat dan terhindar dari apa yang membahayakan.

Syariat Allah juga merupakan wujud keadilan-Nya. Ketika Allah menurunkan perintah dan larangan, sesungguhnya Dia tidak punya kepentingan apapun selain
untuk mewujudkan kasih sayang dan keadilan bagi kehidupan manusia.

Seandainya semua manusia taat, sesungguhnya ketaatan itu tidak ada manfaatnya sama sekali bagi Allah. Sebaliknya, jika semua manusia ingkar, sama sekali Allah tidak dirugikan.

Teramat mudah bagi Allah untuk membinasakan semua manusia yang ingkar dan menggantikannya dengan makhluk baru yang semuanya tunduk kepada-Nya. Hal ini berbeda dengan ketetapan yang dibuat oleh manusia.

Manusia adalah makhluk yang memiliki syahwat dan keinginan, sehingga ketetapan manusia akan mudah dipengaruhi keinginan syahwatnya sendiri. Manusia
senantiasa dipengaruhi oleh kepentingan dirinya, keluarganya, maupun golongannya.

Hanya manusia-manusia yang taat kepada Allah sajalah yang bisa mewujudkan keadilan di muka bumi. Meninggalkan syariat Allah akan menyebabkan terjadinya kedzoliman di muka bumi.(*)

*) Dari naskah khutbah Jumat yang disampaikan di Masjid Umar Al Faruq Ponpes Hidayatullah Makassar, Jumat (18/11/2022)