Wednesday, 11 January 2023 | 13:45 Wita

Menyemai Kader Peradaban di Bumi Pandita Lopi, Dengan Profetik dan Profesional (3)

Editor: Humas DPW Hidayatullah Sulsel
Share

Oleh: Dwi Fii Amanillah, Kadep Tarbiyah dan Kepesantrenan DPW Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Keberadaan kampus sebagai pusat penyemaian kader-kader pejuang peradaban harus didesain dan dikelola secara profetik dan professional. Profetik artinya merujuk pada metode, tatacara serta contoh yang dilakukan Rasulullah Muhammad SAW.

Profesional adalah mengikuti kaidah kaidah manajemen yang standar. Menjaga kultur ibadah, kultur berjamaah, kultur hidup sederhana (Qona’ah ) serta kultur kultur lainnya sesuai nilai -nilai Islam bukanlah perkara yang mudah.

Nabiullah Muhammad SAW dan istrinya adalah pedagang sukses yang kaya raya namun hartanya nyaris tidak ada yang tersisa semua diinfakkan untuk perjuangan demikian pula dengan Sahabat Nabi Abu Bakar Asshiddiq.

Khalifah Ummar bin Khattab wilayah kekuasaan sangat luas dan menaklukan kerajaan-kerajaan besar di dunia, namun beliau tidak hidup di istana yang megah dan berleha-leha layaknya raja.

Beliau rela memikul sendiri gandum untuk dibagi-bagikan kepada rakyat yang dipimpinnya, memimpin dan terjun langsung di medan pertempuran sangat jauh dari kesan hidup santai di zona nyaman.

Bagaimana dengan kita yang saat ini hidup dalam lingkungan pesantren yang telah didedikasikan menjadi miniatur peradaban Islam?

Berada di kawasan yang didesain untuk tempat pembibitan kader-kader pejuang peradaban tentu saja harus bisa mewarisi akhlaq, kepribadian dan gaya hidup layaknya para pejuang peradaban Islam yang terdahulu walaupun secara kadar dan kompotensi tidak bisa menyamai para sahabat Nabi.

Selanjutnya pengelolaan secara profesional sangat dibutuhkan dalam pengelolaan kampus sehingga proses pembibitan kader lebih terencana dan terarah.

Jadi tidak cukup mengumpulkan santri untuk diajar membaca dan menghafal qur’an serta dibimbing untuk beribadah saja. Lebih dari itu para kader juga membutuhkan layanan pendidikan yang lebih holistik dan terpadu (Integral) yang memberi ruang bagi pengembangan potensi kader sesuai kebutuhan ummat dan kebutuhan pengembangan minat dan bakatnya.

Belajar dari pengalaman dan realitas yang ada, santri-santri yang terlibat langsung pada periode perintisan kampus memiliki karakter yang lebih tangguh daripada santri-santri mutaakhir yang lebih banyak belajar di ruang-ruang kelas.

Walaupun dari sisi penguasaan ilmu pengetahuan umum dan wawasan mereka jauh tertinggal. Kondisi yang serba terbatas di masa perintisan, budaya kerja keras dan beribadah keras membentuk kedewasaan dan jiwa kemandirian di kalangan santri.

Ketangguhan dan kesabaran para dai dan murobbi perintis menjadi kunci dalam pewarisan nilai-nilai kekaderan para santri. Begitu banyak kisah-kisah heroik mereka yang disaksikan langsung oleh para santri, mulai dari kesederhanaan hidup, sikap egaliter dalam membersamai santri dan komitmennya dalam menjaga kultur ibadah wajib serta ibadah nawafil khususnya sholat lail.

Selain itu santri-santri awal yang mayoritas direkrut dari kalangan mustadaifin umumnya lebih mudah untuk dibina dan dibentuk.(bersambung/*)



BACA JUGA