Monday, 16 January 2023 | 06:06 Wita

Menyemai Kader Peradaban di Bumi Pandita Lopi, Demi Keselamatan Iman dan Masa Depan Anak (4)

Editor: Humas DPW Hidayatullah Sulsel
Share

Oleh: Dwi Fii Amanillah, Kadep Tarbiyah dan Kepesantrenan DPW Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Saat ini santri santri awal sebagai bibit- bibit kader yang sekian lama dibina dan digelantang di medan perintisan Kampus Pesantren Hidayatullah Padangmonro di awal awal tahun 2000 an telah tumbuh menjadi kader-kader utama di berbagai Pondok Pesantren Hidayatulllah yang tersebar di Nusantara.

Ada yang menjadi ketua yayasan, guru, dai maupun pengasuh pesantren. Ada pula yang sukses menjadi pengusaha, bahkan ada yang telah berhasil mendirikan pesantren dan lembaga pendidikan di kampungnya.

Santri-santri pada usia SD yang dulunya kelihatan culun, lusuh dan belum bisa merawat dirinya dengan baik ternyata punya potensi yang luar biasa yang semakin nampak ketika mereka menginjak usia dewasa.

Begitu sederhananya fasilitas hidup di kampus perintisan, bahkan secara finansial hidupnya serba kekurangan namun di tempat itulah tumbuh subur bibit-bibit kader yang sehat wal afiat secara jasmani maupun spiritual.

Mereka dibesarkan dengan kekuatan cinta, doa dan keteladanan. Jiwa mereka begitu kuat menahan kerinduan berpisah jauh dari orangtua, sanak saudara dan kerabat, isak tangis sering membuncah tak terbendung menetes menjadi bulir air mata kerinduan yang hanya bisa terobati dengan kepasrahan dan rangkaian doa-doa yang menembus petala langit.

Mereka dititipkan di pesantren bukan karena orangtua mereka mengabaikan rasa cinta dan kasih sayang kepada buah hatinya. Justru karena cinta berlandaskan keimanan yang begitu kuat dan dalam, mereka lepaskan anak anak mereka pergi jauh menuntut ilmu meninggalkan kampung halaman.

Tentunya hal itu dengan suatu keyakinan “Barangsiapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia pulang kembali.”(HR. Tirmidzi).

Walapun hati berat menahan rasa rindu, mata pun berkaca-kaca menahan deraian air mata dan kedua bibir yang bergetar melantunka doa-doa penuh pengharapan semoga buah hati mereka hidup, tumbuh dan berkembang dalam penjagaan dan kasih sayang Allah SWT dan semoga keberkahan selalu terlimpah kepada anak-anaknya yang tengah berjuang menuntut ilmu meniti jalan menuju surga.

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim, no. 2699).

Pengorbanan itu mesti dijalani demi keselamatan iman dan masa depan anak-anak mereka. Coba difikirkan ! Orangtua mana sih yang tega menitip bayinya pada arus sungai yang mengalir yang ia sendiri pun tidak tahu ke mana dan bagaimana nasib bayinya nantinya?

Tapi itu dilakukan Ibunda Musa yang didorong oleh kecintaan kepada bayi mungilnya agar ia selamat dari pembunuhan yang dilakukan oleh balatentara Fir’aun laknatullah.

Di akhir zaman yang penuh fitnah ini di tengah gempuran gelombang syahwat dan kekufurun yang semakin dahsyat maka jalan penyelamatan aqidah dan akhlak anak-anak kita menjadi hal yang paling utama untuk ditempuh . Hal itu tentu saja membutuhkan perngorbanan yang tidak sedikit.

Karena cinta adalah ujian yang menuntut pengorbanan sebagaimana cintanya Nabi Ibrahim Alaihi sallam kepada anak kesayangannya yakni Nabi Ismail. (habis/*)



BACA JUGA