Wednesday, 18 January 2023 | 06:40 Wita

Berkah Cinta dan Ukhuwah di Jalan Dakwah

Editor: Humas DPW Hidayatullah Sulsel
Share

Oleh: Dwi Fii Amanillah, Kadep Tarbiyah dan Kepesantrenan DPW Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Cinta dan persaudaraan adalah kebutuhan hakiki bagi semua manusia. Sebagai makhluk sosia, seorang manusia tak akan sanggup hidup sendirian. Ia harus bergabung dan bekerjasama dengan manusia lainnya bahkan harus mampu berkompromi dengan makhluk-makhluk lainnya.

Cinta dan persaudaraan dalam Islam mendapat kedudukan yang tinggi dan mulia, sebagaimana dinukil dari hadits Rasulullah:
“Siapa yang mencintai seseorang karena Allah, kemudian seseorang yang dicintainya itu berkata, “Aku juga mencintaimu karena Allah.” Maka keduanya akan masuk surga. Orang yang lebih besar cintanya akan lebih tinggi derajatnya daripada yang lainnya. Ia akan digabungkan dengan orang-orang yang mencintai karena Allah.” (H.R.Al Bazaar)

Cinta dalam pengertian dan makna yang luas, bukan sekedar rasa sayang ala ABG zaman “now”. Bukan pula rasa sayang yang kebablasan kepada lawan jenis tanpa ikatan yang syar,i dengan bumbu-bumbu rayuan palsu bernuansa keindahan fatamorgana. Hal ini yang telah banyak menjerumuskan manusia pada perbudakan dan penghambaan kepada sesama mahluk berlainan jenis, yang lebih dikenal dengan istilah “Bucin” (Budak Cinta).

Semasa kuliah dulu sekitar tahun 1997, sebagai seorang yang aktif di lembaga dakwah Majelis Pencinta Musholla (MPM) Unhas, saya pernah terlibat diskusi yang cukup alot dan panjang dengan salah seorang pengikut Syiah terkait periwayatan hadits.

Teman diskusi saya itu mempersoalkan kenapa Abu Hurairah lebih banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dibandingan kerabat dekat Nabi sepupu beliau Ali Bin Abi Thalib.

Saya pun memberi jawaban singkat, “Saya punya banyak saudara kandung dan punya juga teman dekat. Kedekatan dengan saudara kandung secara biologis dan psikologis tidak otomatis untuk kemudian bisa saling terbuka dan curhat satu dengan lainnya tanpa beban.

Apatah lagi kita ketahui bersama dari shiroh Nabawiyah bagaimana persaudaraan Nabi dan para sahabatnya yang sangat lekat dan sedemikian akrabnya, sehingga sangat wajar jika ada sahabat Nabi yang selalu membersamainya dan banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW.”

Hubungan cinta dan persaudaran dalam ikatan iman jauh lebih kuat dari sekadar hubungan karena adanya pertalian darah yang dalam Islam disebut “walijah” yang artinya terpercaya dan sangat dekat atau istilah populernya “bestie”.

Kita masih ingat peristiwa heroik yang terjadi pada saat hijrahnya Nabi dari Makkah ke Madinah. Kisah bagaimana sahabat Ali Bin Abi Thalib karena rasa cintanya kepada Nabi yang dilandasi keimanan yang kuat beliau berani dan rela menggantikakan posisi nabi yang saat itu sudah dikepung dan akan dibunuh olejh gerombolan kafir Qurais.

Juha kisah Abu Bakar As Shiddiq yang rela menahan sakitnya gigitan ular saat memangku Nabi di saat mereka berdua bersembunyii di gua Tsur untuk melepaskan diri dari kejaran musuh-musuh Allah yang akan membunuh Nabi,

Begitu juga dengan kisah Abdurrahman bin Auf yang dengan halus menolak budi baik sahabat dari kaum Anshar yang menawarkan dan menghadiahkan rumah, harta dan istri secara cuma- cuma. Itulah gambaran cinta yang sebenarnya, persaudaraan yang hakiki dan sulit ada bandingannys.

Mencari teman di kala senang semudah membalik telapak tangan tapi mencari teman dan saudara seperjuangan di saat susah sama sulitnya mendulang emas di gurun sahara.

Dalam perjalanan dakwah mencari kawan seiring sejalan melewati suka dan dukanya perjuangan bukanlah perkara yang mudah.

Hidayatullah sebagai wadah perjuangan yang komitmen mencetak dai dan ulama yang mujahid secara konsisten terus menyebarkan dakwah hingga ke pelosok desa yang terpencil, menembus medan yang sulit berdakwah tanpa kenal lelah tak terlalu peduli memikirkan upah.

Merekrut orang yang mau hidup prihatin sebagai mujahid dakwah pengawal tegaknya peradaban tidaklah sama dengan merekrut pegawai di unit usaha sekolah maupun perusahaan yang menjanjikan gaji dan bonus yang cukup besar maka menjadi hal yang wajar jiga jika hanya sedikit orang saja siap bergabumg dalam barisan perjuangan menegakkan Agana Allah di atas permukaan bumi ini.

Jalan dakwah yang berliku,mendaki serta terjal, kalau bukan karena adaya cinta yang dalam dan persaudaraan yang erat antar sesama pejuang dakwah maka akan banyak yang gugur di tengah jalan, menjadi “futur” alias mundur teratur meninggalkan barisan perjuangan.

Di sinilah pentingnya saling memberi nasehat, saling memotivasi, saling berlomba untuk membantu dan memberi sebagai manifestasi dari kecintaan dan ukhuwah sesama muslim.

Ibaratnya seperti satu tubuh, tak terpisah satu dengan lainnya

Di Kampus pesantren Hidayatullah Kendari Sulawesi Tenggara pernah terjadi kasus pencurian kendaraan roda dua pada saat warga dan para santri menunaikan sholat subuh hingga yang diamanahi kendaraan tersebut pucat dan panik ditambah lagi ada di antara warga ada yang menimpakan kesalahan penuh kepadanya.

Hingga datanglah pembina pesantren menenangkan situasi , beliau berujar “Motor yang hilang inshaa Allah bisa diganti, tapi kalau kader yang hilang sangat sulit mencarikan penggantinya,” akhirnya suasana kembali tenang dan tidak saling menyalahkan satu dengan yang lainnya.

Nasihat adalah simbol cinta maka sudah selayaknya orang yang mencintai memberi nasehat yang menyejukan dan penuh hikmah dan orang yang dinasihati selayaknya menerima dengan cinta.

“Dien (Agama) adalah nasehat sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut: “Dari Tamim ad-Dari, Rasulullah SAW bersabda, “Agama adalah nasihat.” Para sahabat bertanya “Untuk siapa wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin kaum muslimin dan kalangan umum.” (H.R Muslim).

Menasehati karena dorongan cinta kepada saudara seiman, memberi kelapangan hati ketika ada saudara yang khilaf atau sementara dirundung masalah serta bersabar ketika ada perbedaan pendapat dan pandangan sesama saudara seiman adalah akhlak mulia sekaligus ujian seberapa besar kadar kecintaan kita pada saudara-saudara kita.

Bukti cinta dan ukhuwah juga diwujudkan dengan sikap “itsar ” mendahulukan kepentingan saudara kita daripada kepentingan pribadi. Salah satu ciri khas pondok pesantren Hidayatullah adalah memuliakan (ikram) kepada para tamu baik yang sekedar singgah maupun yang menginap.

Di beberapa pondok pesantren Hidayatullah bahkan menyiapkan hidangan makanan khusus, kopi, snack serta buah yang sudah tertata rapi di kamar atau ruang tamu, bahkan perlengkapan mandi pun sudah tersedia lengkap.

Hingga suatu ketika berkunjung ke pesantren Hidayatulllah di Kolaka Sulawesi Tenggara saya berseloroh “Kayaknya sisa celana dalam saja yang belum dibelikan oleh tuan rumah”.

Dalam safar itsar pun diwujudkan dengan cara berlomba-lomba membayar harga hidangan yang telah disantap bersama ketika singgah di warung atau rumah makan tidak sebagaimana umum terjadi, masing-masing memegang dompetnya menunggu siapa yang duluan beranjak dari tempat duduknya untuk membayar.

Ustadz Hasyim H.S salah satu pendiri Hidayatullah mengungkapkan “Kesederhanaan dan keterbatasan ilmu para kader-kader Hidayatullah membuat mereka rendah hati, santun dan tidak arogan atau merasa paling hebat sehingga dakwahnya bisa diterima di semua lapisan masyarakat. ”

Cinta yang benar dan ukhuwah yang senantiasa dijaga dan dipupuk selalu membawa keberkahan.

Justu kejadian nyata dialami oleh sepasang suami istri perintis kampus pesantren di Bulukumba menjelang larut malam di kampus terpencil yang jauh dari keramaian dengan akses jalan tanah yang lumayan jauh dari jalan raya, istri salah seorang pembina pesantren yang hamil anak pertamanya tengah ngidam berat ingin makan daging.

Mungkin efek karena selama bertugas merintis sangat jarang menikmati lezatnya daging. Sang suami pun kebingungan dan menanggapi keinginan istrinya yang menurutnya tak masuk akal dengan nada suara agak keras, “Mana ada orang yang menjual daging malam-malam begini ?” Si istri pun bertambah sedih dan mencucurkan air matanya.

Sang suami pun merasa bersalah dan menatap istrinya dengan mata berkaca-kaca. Tak berapa lama kemudian datang kawan seperjuanganya mengetuk pintu dan mengajaknya keluar malam karena ada undangan makan di kampung sebelah.

Tiba di tempat undangan Sang suami kaget karena di depannya telah terhidang begitu banyak masakan daging dengan aroma yang begitu lezat. Dalam hati ia berujar” Alhamdulillah terpenuhi hajat istriku” terlihat rona kebahagiaan di wajahnya.

Ia begitu menikmati berkahnya cinta dan ukuwah dari saudara saudara seperjuangannya yang selalu menguatkan hatinya. Saling mencintai karena Allah dan persaudaraan yang begitu mesra yang terperaga di kampus-kampus pesantren.

Ponpes yang didikasikan menjadi miniatur peradaban akan menjadi magnet power yang menarik masyarakat untuk bergabung menikmati indahnya simphonni kehidupan dari sebuah tatanan masyarakat yang terjaga oleh syari’ah dan telah tercerahkan oleh wahyu Allah SWT.

Istilah Allahuyarham ustadz Abdullah Said, ” Kalau ada orang kafir yang masuk ke dalam kawasan pesantren Insha Allah keluar menjadi muslim.

Salah satu do’a yang mustajab adalah doa yang dipanjatkan oleh saudara seiman tanpa diketahui oleh orang yang didoakan. Sudah menjadi tradisi di pesantren Hidayatullah untuk mendoakan para petugas yang dikirimkan ke daerah khususnya ba’da sholat lail sehingga bisa dikatakan bekal para dai Hidayatullah ketika terjun ke medan dakwah adalah tawakal dan doa-doa dari para guru dan saudara -saudara seperjuangan.(*)



BACA JUGA