Monday, 8 May 2023 | 19:07 Wita

Mantan Guru

Editor: Humas DPW Hidayatullah Sulsel
Share

Oleh : Ust Drs Nasri Bukhari MPd, Ketua DPW Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Dengan tergopoh-gopoh seorang jama’ah yang masih tergolong muda mendatangi saya, usai melaksanakan shalat jamaah di masjid. Saking gembiranya dia, dari jauh telah menyodorkan jabatan tangan sambil senyum hangat yang mendahului langkahnya hanya untuk bisa bersalaman dengan saya.

Tergambar di wajahnya penuh rasa rindu bertemu dengan gurunya. Walau sejujurnya kuakui akan kekurangan saya, yang sangat berat mengingat wajah seseorang yang lama tak pernah bertemu, apalagi kejadiannya puluhan tahun lalu.

Kucoba membuka memori sambil bertanya padanya, “Siapa ki dih ?” (dialeg Makassar), “Siapa sebenarnya Anda” ?. Dia mengaku sebagai murid saya beberapa tahun lalu di Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak Balikpapan.

Dalam obrolan singkat tergambar kebahagiaan kami berdua saat di pondok dulu. Dia merasakan kebahagiaan sebagai santri dan saya pun juga bahagia berjumpa kembali dengan murid dulu yang kini telah sukses berkarya di masyarakat.

Perjumpaan saya di masjid itu adalah gambaran fragmentasi dalam kehidupan masyarakat tentang keterikatan emosi dan cinta antara guru dan murid. Cinta yang tak akan lapuk karena suasana dan kondisi serta tak akan terlupakan karena perjalanan waktu.

Sehingga saya pun sering mengistilahkan, baik dalam ngobrol ataupun dalam forum tertentu, bahwa dari segi esensi di dunia pendidikan ataupun kepengajaran dan pengasuhan, sesuatu itu bisa saja berakhir karena karir atau jabatan, sehingga diapun akan dikenang sebagai mantan atau ‘bekas….’.

Namun istilah mantan tidak berlaku pada status seseorang antara orangtua dan anak. Walau telah berpisah, baik berpisah karena telah wafat di antara keduanya ataupun berpisah karena bercerai antara kedua bapak dan ibunya.

Demikian halnya hubungan seorang guru dan muridnya. Fungsi dan peran pengabdiannya seorang guru terhadap muridnya, yang mendidik penuh tulus ikhlas, adalah jasa yang mampu dibalas dengan tanda jasa dan juga materi. Tak akan memisahkan hubungan psikologis guru dan murid.

Pemberian totalitas keIlmuan yang dimiliki dan kesabaran dan ketekunan seorang guru telah berhasil mendidiknya hingga berhasil mencetak manusia-manusia hebat, adalah sebuah karya sejarah yang tak akan dan tak boleh terlupakan.

Atas peran dan jasa itulah, maka sungguh sangat tidak elok dan sepertinya tak tahu berbalas budi ketika seorang guru yang dulu pernah mengajar dan mendidiknya, lalu setelah masa berlaku diapun memanggil dan mengistilahkannya sebagai “mantan guru”

Guru mungkin bukanlah orang terhebat, mungkin yang diberikannya tak seberapa, tapi dia telah memberikan sepenuh hati dan jiwanya tentang arti sebuah keikhlasan, ketulusan dalam memberi. Dia telah tunjukkan kesabaran dan keteguhan dalam menjalankan amanah.

Guru tetaplah guru, yang dengannya seseorang sukses dan melahirkan orang hebat dalam berbagai bidang kehidupan di kemudian hari.

Bukan banyaknya ilmu yang diberikan, tapi jiwa ketulusannya yang sangat bermakna, Rasulullah bersabda: “Jadilah pendidik yang penyantun, ahli fiqih, dan ulama. Disebut pendidik apabila seseorang mendidik manusia dengan memberikan ilmu sedikit-sedikit yang lama-lama menjadi banyak” (HR Bukhari).

Begitu hebatnya karakter seorang guru, ketika menjalankan tugasnya dia selalu tampakkan kegembiraan dan kebahagiaan menghadapi berbagai tingkah laku anak murid, di saat mungkin dia sendiri menghadapi problematika kehidupan rumah tangganya.

Dia selalu bahagia menjadi pendidik untuk menumbuhkan jiwa bahagia pada anak didiknya dalam menghadapi tantangan hidupnya ke depan.

Itulah karakteristik guru abadi, saat masih menjalankan tugas profesinya sebagai guru atau sesudah tak lagi menjalaninya. Tak nampak perubahan sikap dan sifatnya, tetap wajahnya menyenangkan dan membahagiakan.

Dari segi peran guru merupakan orang tua kita di sekolah. Guru banyak berjasa kepada kita, karena guru mengajari dan mendidik kita dalam banyak hal. Sehingga menghormati guru setara dengan menghormati orangtua.

Allah memerintahkan kita menghormati orang tua umumnya dan kedua bapak ibu. “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”

Yang dimaksud berbuat baik menurut Ibnu Katsir adalah berkata lemah lembut dan melarang berkata dan berbuat kasar, bersikap santun dan taat pada nasehat dan perintahnya walau telah berusia lanjut.

Tapi ada guru senior pernah mengatakan, ketika berjumpa dengan murid yang pernah dulu dididiknya, dia sangat santun dan sangat menghargai gurunya, tapi kadang tidak cukup guru itu dihormati perlu juga sesekali “dihargai”.(*)



BACA JUGA