Monday, 22 May 2023 | 16:33 Wita

Mantan Santri

Editor: Humas DPW Hidayatullah Sulsel
Share

Oleh : Ust Drs Nasri Bukhari MPd, Ketua DPW Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Santri diidentikkan dengan status pelajar pada sebuah pondok pesantren, memiliki masa dan standar usia belajar. Namun yang aneh jika ada yang mengaku santri padahal tidak pernah dan tidak sementara belajar di pesantren.

Demikian sosok Asnawi Arbain contohnya, mantan walikota Balikpapan di era tahun 70-an.
Bagi santri awal Pesantren Hidayatullah Balikpapan semua pasti mengenai dengan.sosok ini. Mengaku santri Hidayatullah padahal dia tidak pernah tinggal menyantri di pondok.

Baik ketika menjabat ataupun sampai saat usianya telah tua, di beberapa forum tertentu dan obrolan-obrolan, dengan penuh rasa bahagia dan bangga kerapkali dia selalu mengaku sebagai santrinya K.H Abdullah Said, pendiri Hidayatullah Balikpapan.

Status kesantrian yang dia nobatkan pada diri Asnawi Arbain sendiri mengandung makna bahwa status dan predikat santri itu tidak hanya disandangkan pada seorang yang masih sementara menempuh pendidikan di pesantren. Dan tentu terbatasi oleh usia dan rentang waktu belajar di pondok

Kesantrian Asnawi Arbain menampakkan status santri dalam perpektif moral dan moril, untuk berbuat lebih baik dari yang lainnya, sesuai pengetahuan yang dimilikinya, tak terkecuali ketika menjadi pejabat publik sekalipun.

Secara moral dia menampakkan tentang bagaimana pejabat publik berkewajiban untuk berkarakter baik dalam aspek perbuatan dan sikap. Serta keberanian, penuh semangat dan bertanggung jawab menampakkan dengan percaya diri sebagai santri yang layak dipanuti

Pengakuan kesantrian Asnawi Arbain juga terkandung kebanggaan dan percaya diri, bahwa status kesantrian seseorang mengandung makna keterjagaan dan kepengawasan terhadap diri dari segala hal yang merusak moral dan akhlaqnya seorang pemimpin.

Diapun pun sadar betul bahwa hanya dengan ajaran Islam yang diterapkan di pesantrenlah yang mampu membentuk dan menumbuhkan kesadaran yang baik dan melekat. Dan hanya dengan Islam juga mampu menstimulasi seseorang menjadi bersemangat dan optimis memperbaiki dan membangun moralitas bangsa menjadi bangsa yang bermartabat.

Mantan Santri

Bagaimana pula dengan yang betul-betul pernah menjadi santri di pondok pesantren. Mulai dari yang hanya beberapa tahun belajar hingga tak sedikit yang lebih lama lagi, mulai dari jenjang TK, SMA hingga perguruan tinggi. Bahkan ada yang sebelum lahir sudah tinggal di pesantren, karena kedua orangtuanya juga dulu adalah santri di pondok itu.

Orang seperti itu disamping darah daging adalah 24 karat benar-benar asli santri. Dengan sendirinya juga akhlaq dan budayanya terbentuk dalam suasana dan budaya pesantren.

Yang menjadi tanda tanya adalah apakah yang pernah hidup menjadi santri di pesantren adalah penjamin dari keterjagaan moral dan akhlaq kesantrian?. Semestinya siapapun yang pernah menempuh proses belajar di pesantren akan dengan sendirinya terbentuk karakter kesantrian dengan akhlaq karimah yang menghiasinya

Sebab sistem dan metode pendidikan pesantren sangat berbeda dengan dengan pendidikan yang lainnya. Disamping memberi pelajaran tentang berbagai pengetahuan tentang Islam, juga membimbing santri bagaimana hidup ber-Islam, menerapkan pola hidup Islam pada diri dan lingkungannya. Berakhlaq dalam belajar Islam dan belajar hidup berakhlaq dalam kultur Islami.

Aksiomatik karakteristik kesantrian seharusnya demikian, dimana akan senantiasa melekat pada kepribadian seorang yang pernah belajar di pesantren, atau lebih dikenal dengan karakter mantan santri.

Namun pada kenyataannya disaat keluar dari lingkungan pondok, mereka diperhadapkan dengan budaya yang berbanding terbalik dengan yang sekian tahun dijalaninya di lingkungan pondok.

Saat seperti inilah karakter kesantriannya benar-benar akan teruji. Ujian hidup dari hidup serta teratur, terbimbing dan terawasi ke kehidupan yang mandiri dan cendrung bebas tanpa batas aturan ketat seperti dialamin di pondok.

Jadilah dia berada dipersimpangan jalan, dengan kegamangan pilihan. Apakah tetap mampu menjalani perobahan status dan bertahan dari gempuran budaya yang terasa asing baginya, dengan tetap istiqomah pada karakter kesantriannya. Atau secara pelan tapi pasti budaya di lingkungan masyarakatlah yang menggerus karakter kesantriannya hingga yang teraisa tinggal nama, mantan santri.

Tentulah semua tak menghendaki menjadi orang merugi, dimana pengorbanan pendidikan kepesantrenannya, berupa Ilmu yang diperolehnya, waktu belajar dijalani, biaya yang sedikit, dan berbagai pengorbanan yang tak terhitung nilainya akhirnya menjadi sia-sia.

Harapan berbagai pihak, khususnya orang tua, memasukkan anaknya ke pondok demi untuk mengantar anaknya menjadi generasi Qur’ani, yang sholeh, kelak sebagai calon pemimpin. Tak nampak pada dirinya.

Namun bisa jadi justru sebaliknya, yang dilihat adalah hilangnya karakteristik kesantriannya. Sehingga respon yang muncul bukanlah kebahagiaan orang tua tapi kekecewaan atas sikap anaknya yang tak mencerminkan karakter ke santri.

Agar tidak terjadi demikian, sepatutnya orang tua, pendidik, mau masyarakat ummumnya tidak memandang dan berekspektasi terlalu melangit kepada santri yang telah selesai belajar di pesantren sebagai orang sempurna ilmu dan kepribadiannya. Dia masih dalam proses belajar mewujudkan ilmu yang dipelajarinya

Jangan biarkan mereka berjalan tanpa bimbingan dan arahan yang tepat dan benar. Dibutuhkan bimbingan dan panduan khususnya seperti dalam memiih pendidikan lanjuan. Sehingga tidak gampang memilih jenjang pendidikan lanjuan, dan disamping tetap mempertimbangkan aspek bakat dan kemampuan dirnya, juga mempertimbangkan kondisi budaya pergaulan dimana dia akan belajar.

Disamping itu dengan membuat mereka tetap dalam ikatan psikologi dan pembinaan dari almamater sebelumnya. Memberi ruang dan media berpekspresi, berkreasi dan berkomunitas, dalam sebuah organisasi pergerakan kepemudaan. yang baik vusi dan miainya. Serta memberi pekerjaan dan kegiatan yang menumbuh kembangkan jiwa kemandian.

Sehingga akan tetap terjaga kultur atau budaya pondok.dimanapun dia berada, seperti kultur belajar, kemandian, kerja sama dan keorganisasi, semangat ibadah serta saling menghargai.

Sesungguhnya tidak ada istilah mantan santri. Karena santri adalah ketika dia sementara belajar di jenjang pendidikan di pondok pesantren, dan juga santri adalah yang pernah belajar di ponsok pesantren. Namun terdapat istilah mantan yang baik disandang, yaitu mantan preman lalu menjadi santri



BACA JUGA