Sunday, 10 July 2022 | 21:34 Wita

Berkurban Manivestasi Rasa Syukur

Editor: admin
Share

■ Oleh : Ust Drs Nashri Bukhari MPdKetua DPW Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Mulai hari ini dan tiga hari setelah hari ini, kaum muslimin di seluruh dunia akan mengumandangkan kalimat yang sama, berupa takbir, tahmid, dan tahlil. Tidak ada kata atau kalimat yang lebih baik untuk diucapkan hari-hari ini melebihi ketiga kalimat tersebut.

Allah berfirman : 

وَاذۡكُرُوا اللّٰهَ فِىۡٓ اَيَّامٍ مَّعۡدُوۡدٰتٍ‌ؕ فَمَنۡ تَعَجَّلَ فِىۡ يَوۡمَيۡنِ فَلَاۤ اِثۡمَ عَلَيۡهِ ۚ وَمَنۡ تَاَخَّرَ فَلَاۤ اِثۡمَ عَلَيۡه‌ِ ۙ لِمَنِ اتَّقٰى ؕ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعۡلَمُوۡٓا اَنَّکُمۡ اِلَيۡهِ تُحۡشَرُوۡنَ

Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka
tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya. (Al Baqarah: 203)

Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan berdzikir pada ayat di atas adalah takbiran atau mengucapkan takbir, sebagaimana yang kita kumandangkan hari ini.

Takbiran merupakan ekspresi kegembiraan, suka cita, dan kebahagiaan menyambut hari raya. Inilah hari kemenangan ketika masing-masing kita memenangkan Allah di atas segala-galanya.

Hari ini, tiada kekuasaan selain kekuasaan Allah. Tidak ada sandaran selain sandaran Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah. Dialah satu satunya yang patut disembah, dipuji, disanjung, dan diagungkan. Laa Ilaha Illallah.

Hari ini kita memerdekakan diri kita dari segala bentuk penyembahan dan perbudakan selain Allah, termasuk perbudakan hawa nafsu kita sendiri. Tidak ada dan tidak boleh lagi ada yang membelenggu kita selain Allah.

Inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi Rabbil Alamin. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.

Inilah kenikmatan hakiki, kenikmatan yang sebesar-besarnya. Tidak ada kenikmatan yang melebihi kenikmatan kemerdekaan dari segala bentuk perbudakan kecuali menjadi hamba Allah.

Bisa jadi selama ini kita diperbudak oleh uang. Bisa jadi kita diperbudak oleh jabatan. Bisa jadi kita diperbudak oleh karier. Bisa jadi kita diperbudak oleh rezim. Bisa jadi kita diperbudak oleh nafsu kita sendiri.

Hari ini kita nyatakan kemerdekaan dari segala bentuk perbudakan. Kita nyatakan Allahu Akbar, Allah Maha Basar.

Selain Allah itu kecil. Karier itu kecil. Jabatan itu kecil. Pangkat itu kecil. Kekayaan itu kecil. Pekerjaan itu kecil. Ras itu kecil. Golongan itu kecil. Organisasi itu kecil. Partai itu kecil. Yang besar hanya Allah.

Semua yang kecil yang kami sebut tadi bisa menjadi besar jika seiring dengan Allah, bersama Allah, dan tidak bertentangan dengan Allah. Semua dapat dijadikan alat menuju ridha Allah.

Ada satu surat terpendek dalam al-Qur’an yang paling relevan dengan momentum dan peristiwa hari ini, yaitu surat Al-Kautsar. Melalui 3 ayat pendek ini Allah mengingatkan tentang berbagai kenikmatan yang diberikan Allah dan implementasi kesyukuran atas pemberian nikmat tersebut, yaitu shalat dan berkurban.

Allah berfirman:
اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَ 1 فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ 2 اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ 3

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus. (Al Kautsar: 1-3)

Imam Al-Ghazali merumuskan nikmat adalah setiap kebaikan, kelezatan, kebahagiaan, bahkan setiap keinginan yang terpenuhi. Meskipun demikian, masih kata Al-Ghazali, nikmat sejati adalah kebahagiaan hidup ukhrawi, di hari kiamat yang abadi.

Terhadap nikmat Tuhan, baik yang berupa nikmat duniawi maupun nikmat ukhrawi, nikmat dzahir maupun bathin, jika dihitung tak akan pernah ada yang dapat menghitungnya, apalagi memperhitungkannya. Allah berfirman:

وَاِنۡ تَعُدُّوۡا نِعۡمَةَ اللّٰهِ لَا تُحۡصُوۡهَاؕ اِنَّ اللّٰهَ لَـغَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ‏

Jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An Nahl: 18)

Sepintas kita coba memperhatikan anggota tubuh kita yang nampak dan penting-penting saja, kaki, tangan, perut, mulut, mata, telinga, dan hidung.

Semua anggota tubuh yang kami sebut tadi merupakan instrumen lengkap yang dapat bergerak otomatis, bergerak dan berfungsi serentak dalam waktu bersamaan.

Mata sambil melihat, mulut berbicara, telinga bisa mendengar, hidung mencium, sedang kaki sambil jalan serta tangan bergerak. Instrumen itu bergerak atas perintah otak yang tersambung melalui syaraf-syaraf halus ribuan kilometer panjangnya.

Subhanallah wallahu Akbar. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

وَاللّٰهُ اَخۡرَجَكُمۡ مِّنۡۢ بُطُوۡنِ اُمَّهٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَ شَيۡـــًٔا ۙ وَّ جَعَلَ لَـكُمُ السَّمۡعَ وَالۡاَبۡصٰرَ وَالۡاَفۡـِٕدَةَ‌ ۙ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُوۡنَ

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (An Nahl: 78)

Allah telah menjadikan tiga alat paling vital bagi manusia, yaitu mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, serta akal dan hati untuk berpikir dan merasa.

Dengan ketiga alat tersebut manusia terus berjuang mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupannya. Dengan ketiga alat tersebut manusia akhirnya berkemampuan untuk memanfaatkan alam untuk menjadi alat kehidupannya. Allah berfirman:

“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?” (Yasin: 33-35)

Manusia yang telah dilengkapi dengan mata, telinga dan akal budi diharapkan bisa bersyukur kepada-Nya. Orang yang tidak tahu berterimakasih itu sesungguhnya derajatnya tidak lebih baik dari binatang.

Derajat mereka lebih hina dan rendah karena tidak menggunakan matanya untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah, tidak menggunakan telinga untuk mendengar ayat-ayat Allah dan tidak menggunakan akal pikiran dan perasaannya untuk berterimakasih
kepada-Nya.

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al A’raf: 179)

Berterimakasih kepada Allah harus dinyatakan serentak dalam satu tindakan yang melibatkan tiga instrumen sekaligus, yaitu hati, lisan, dan perbuatan.

Hatinya harus terpaut dengan cinta yang mendalam kepada Allah, lisannya mengucapkan alhamdulillah, serta anggota tubuhnya menunjukkan ketaatan kepada syari’at-Nya.

Allah tidak mendapatkan keuntungan sedikitpun dari syukur kita. Ketika kita bersyukur kepada Allah sesungguhnya keberuntungannya untuk kita sendiri.

Allah tidak rugi jika kita mengingkarinya. Allah juga tidak butuh ucapan terimakasih hamba-Nya. Ucapan terimakasih itu kembali kepada kita sendiri. Allah berfirman:

“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “kun (jadilah)”, maka jadilah ia.” (An Nahl: 40)

Orang yang bersyukur jiwanya menjadi tenang, nyaman, dan bahagia. Jiwanya menjadi bersih, terlepas dari sifat serakah, tidak puas, dan ingin menguasai sendiri. Jiwanya nyaman, bebas dari dendam, ego, dan timbul keinginan untuk berbagi. Jiwanya menjadi positif dan uranya menjadi bersinar lagi.

Ketika Allah mengaruniakan kekayaan, maka timbul dalam hatinya untuk berbagi, memanfaatkan kekayaannya untuk kebaikan bersama. Timbul keinginan untuk menyantuni anak yatim, fakir miskin, menolong orang yang sengsara, membangun masjid, madrasah, dan tempat-tempat kebaikan lainnya.

Apa yang terjadi jika hamba Allah bersyukur kepada-Nya? Berlakulah di sini hukum alam (sunnatullah) berupa bertambahnya kenikmatan di atas kenikmatan yang sudah ada. Jika suatu masyarakat juga melakukan hal yang sama, maka penduduk negeri itu akan merasakan semuanya.

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.” (Ibrahim: 7)

Hukum alam yang sama juga berlaku sebaliknya. Jika seorang hamba mengingkari nikmat pemberian Allah, maka Allah akan mencabut nikmat tersebut, bahkan bisa jadi menggantinya dengan adzab-Nya. Na’udzubillah.

Demikian juga jika suatu bangsa atau suatu kaum mengingkari nikmat Allah, maka penduduk negeri itu akan merasakan akibatnya. Allah berfirman:

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya; karena itu mereka dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (An Nahl 112-113)

Allah telah mengaruniakan negeri jamrut khatulistiwa kepada kita semua. Negerinya aman, nyaman, dan subur. Begitu suburnya, tongkat di tanam jadi pohon. Sungainya bak kolam susu, dan aneka ikan hidup dan
berkembang biak tanpa perlu diberi makan.

Di bumi nusantara itu tersimpan aneka tambang, di atasnya berjuta-juta hektar sawit dan perkebunan. Di udara terdapat tersimpan energi matahari yang tak ada habisnya.

Jika bangsa Indonesia bersyukur, maka kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan terwujud dan menjadi nyata. Tapi jika para pemimpinnya tidak amanah, lebih mementingkan diri seendiri, bahkan rela mengorbankan dan menjual rakyatnya untuk kepentingan asing, maka tunggulah saatnya.

Allah mengingatkan: “Dan betapa banyaknya negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari pada (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu itu. Kami telah membinasakan mereka, maka tidak ada seorang penolongpun bagi mereka.” (Muhammad: 13)

Negeri ini merupakan warisan para pejuang Muslim. Negeri inidiperjuangkan dangan darah dan air mata para Ulama dan para santri.

NKRI ini dititipkan kepada kita agar dijaga, dipelihara, dimakmurkan, disejahterakan, dan dimajukan bersama komponen anak bangsa. Para syuhada kita tidak rela bila negeri ini digadaikan untuk kepentingan asing.

Adalah kewajiban kita, anak negeri ini, kaum muslimin, terutama generasi muda untuk bangkit menyelamatkan negeri dari ancaman penjajahan gaya baru, penjajahan kaum oligarki.

Indonesia sangat potensial menjadi baldatun thoyibatun wa rabbu ghafur, sebagaimana yang digambarkan dalam surat Saba 15.

“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. (Saba’ : 15)

Caranya sederhana, gerakkan penduduk negeri ini untuk shalat dan kobarkan semangat berkorban, baik dalam arti tekstual maupun kontekstual. Fashalli
lirabbika wan-har. Berkorban bukan daging dan darahnya tapi esensinya adalah aktualisasi taqwa, cinta, syukur dan ketaatan kepada Allah. Itulah pesan idul Qurban hari ini. Semoga Negara Indonesia maju dan berperadaban.■

*) Disarikan dari naskah khutbah Idul Adha DPP Hidayatullah yang disampaikan di Masjid NHP Makassar



BACA JUGA