Saturday, 3 August 2024 | 16:38 Wita

Ibrah dari Para Pendiri Hidayatullah (61)

Editor: admin

HidayatullahSulsel.com — Sejak awal penciptaan manusia, dan akan terus berlanjut hingga akhir zaman, di mana setiap orang pasti dilengkapi dengan hawa nafsu, dan sudah menjadi sunnatullah, jika hawa nafsu tidak mungkin dihilangkan, maka satu-satunya upaya yang bisa dilakukan, adalah dengan jalan mengendalikannya.

Nafsu yang tidak terkendali, dapat dipastikan seseorang tidak akan mungkin bisa menikmati kehidupan yang tenang, sebab setiap saat dia dirongrong oleh tuntutan nafsunya, persis ibarat orang yang kehausan, di mana tidak ada pilihan air yang dapat diminumnya, kecuali air laut, bisa ditebak apa yang akan dirasakan, semakin diminum, membuat dahaga kian menjadi-jadi.

Bagi orang yang berpikiran waras, dalam artian ada kesadaran untuk meredam gejolak hawa nafsu, kian terasa urgensinya lingkungan yang kondusif untuk itu, sebab pertarungan akan sangat berat, jika lingkungan sekitar, justru memberi angin segar, untuk hawa nafsu semakin bergejolak.

Bagi orang yang berada dalam sebuah komunitas yang sama, di mana materi (harta) menjadi prioritas utama, menjadi wajar jika kesibukan mereka terfokus untuk mendapatkannya, kadang sampai ke tingkat menghalalkan segala cara. Maka menjadi aneh menurut mereka, bahkan bisa dicap gila, jika kemudian ada orang yang terkesan begitu cuek dengan urusan mengejar materi.

Hal yang sama akan terjadi sebaliknya, orang-orang yang berhimpum dalam satu wadah, di mana materi hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan dasar (tidak terpengaruh pada tuntutan gaya hidup), akan kasihan dan iba kepada orang yang sampai diperbudak oleh hawa nafsunya, untuk terus mengejar dan menumpuk harta sebanyak mungkin.

Dalam konteks Hidayatullah, yang secara khusus mendesain setiap kampusnya, agar para penghuni bisa mengendalikan hawa nafsunya, bukan berarti 100 % mereka tidak akan terjun di dunia usaha, melainkan ada motivasi yang sangat berbeda, di mana keseriusan mereka dalam bisnis, semata didedikasikan untuk kepentingan perjuangan.

Ketika lembaga mengalami kemajuan, ditandai dengan pertumbuhan aset yang terus berkembang, dengan sendirinya akan berimbas pada kesejahteraan orang-orang berkecimpung di dalamnya, inilah yang dimaksud, hidupkanlah Hidayatullah dan hiduplah bersama Hidayatullah. Namun, jika salah dalam pengelolaannya, aset yang terus bertambah, justru menjadi maslaah baru, yang kadang berujung tragis.

Dalam tulisan ke 55 yang lalu, poin kesatu disebutkan, soal kepemilikan harta pribadi, yang merujuk pada filosofi rambut dalam perjanjian Hudaibiyah, dimana masing-masing orang memiliki kebebasan dalam mengaturnya, maka berbeda halnya dengan harta pada poin berikutnya.

  1. Harta Milik Bersama

Sekalipun sudah menjadi pemahaman umum, bahwa uang bukanlah segala-galanya, namun realitas yang kita saksikan hari ini, betapa uang memiliki posisi yang sangat strategis, sampai lahir ungkapan selanjutnya, bahwa segala-galanya butuh uang. Dalam sebuah kesempatan, Ust. Abdullah Said sampai menganalogikan, “keberadaan dana dalam perjuangan, laksana darah dalam tubuh”.

Analogi di atas, tentu tidak bisa dipahami secara kaku, melainkan sebatas penegasan, bahwa dana memiliki peran yang sangat strategis dalam perjuangan, sehingga keberadaannya menjadi sangat dibutuhkan, maka upaya untuk mendapatkan dan mengumpulkan sebanyak mungkin, adalah sebuah keniscayaan.

Karena status dana perjuangan adalah harta milik bersama, tentu penggunaannya akan sangat berbeda dengan harta milik pribadi, di mana ada beberapa syarat utama dalam pengelolaannya, dan jika syarat itu diabaikan, di situlah keberadaan dana menjadi bumerang.(*)

*) Penulis: Akib Junaid Kahar; Sumber: WAG H Indonesia



BACA JUGA

SULSEL TODAY