Monday, 16 January 2023 | 05:51 Wita

Mendengar Nasehat Mengasah Akhlak

Editor: Humas DPW Hidayatullah Sulsel
Share

Oleh: Ust Drs Nasri Bukhari MPd, Ketua DPW Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Mendengar dan senang menerima nasehat dan masukan dari orang lain dengan sabar dan lapang dada, itu merupakan ciri kebersihan hati serta tanda sifat tawadhu dari orang beriman.

Sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai teladan dari umat Islam, memiliki sifat keterbukaan sebagai satu akhlaqnya mulianya. Batapa Rasulullah sangat terbuka dengan pemikiran dan pendapat orang lain bila memang baik.

Seperti ketika mengatur siasat perang dengan sistem bertahan, beliau menerima pendapat sahabat Salman Al Farisi untuk menggali parit hingga perang itu dinamai Perang Khandak.

Demikian halnya ketika akan berkecamuk perang Badar, Rasulullah sudah kumpulkan pasukannya di lokasi sebelum sumur Badar. Tapi sahabat mulia Hubab bin Mundzir melihat tempat tersebut tidak tepat. Dengan sopan dia mengusulkan kepada Rasulullah SAW agar memajukan pasukan setelah sumur Badar, dan menutup sumber mata air yang lain. Sehingga pasukan Rasul menguasai air, dan pasukan lawan tidak punya sumber air.

Usulan dan saran ini diterima oleh Rasulullah SAW dengan senang hati. Dan pasukan dimajukan ke depan sumur Badar. Kejadian yang sama terulang di saat pengepungan benteng-benteng Khaibar. Perkumpulan pasukan Rasul SAW terlalu dekat ke benteng. Kembali Hubab mengusulkan agar jarak pasukan diperjauh dari benteng Khaibar, agar tidak disasar oleh panah-panah orang Yahudi. Rasulullah pun menerima usulan ini.

Menerima Nasehat

Bagi orang yang berpikir selalu mau maju dan berkembang akan merasakan indahnya hidup dengan banyak menerima nasehat, bahkan menjadi kebutuhannya.

Sebaiknya terdapat seseorang yang terkadang berat mendapat nasehat dari orang lain. Apalagi kalau kita sudah punya keinginan tertentu, atau rencana yang matang yang berbeda dengan nasehat tersebut. Biasanya kadang kita terima, kadang juga kita menolaknya. Demikianlah karakteristik sifat kemanusiaan kita yang penuh keterbatasan dan kelemahan

Manakala kita menyadari bahwa sesungguhnya hidup ini akan bahagia dan dirahmati-Nya dengan nasehat dari orang lain
Umar ra. pernah menyatakan:
رحم الله امرأً أهدى إلينا مساوئنا.

“Semoga Allah merahmati orang yang menunjuki kita kekurangan-kekurangan kita.” (Adabuddin wad Dunya).

Abu Hurairah ra. juga pernah menyatakan:
المؤمن مرآة أخيه إذا رأى فيها عيبا أصلحه.
“Seorang mukmin itu cermin bagi saudaranya. Jika dia lihat ada kekurangan, maka dia memperbaikinya.” (Adabul Mufrad – Bukhari).

Rahmah yang penuh kebahagiaan yang akan diraihnya dengan jalan nasihat. Namun tidak menjadi baik ketika tidak tepat dan benar cara menasehatinya, serta kurang bijak dan tidak sesuai kondisi.

Boleh jadi bahasanya pun yang agak kasar, terlalu menggurui, atau bahkan merendahkan. Jadilah nasehat itu tidak bermanfaat. Sehingga tak dapat diterima oleh yang dinasehati, bahkan akan menimbulkan penolakaan dan apriori

Raih-Nya dengan Dinun Nashiha

Sebagai orang beriman kita harus berkeyakinan bahwa kita memiliki keterbatasan dan kekurangan diri. Untuk itu, siapapun dan apapun posisi kita, harus ditumbuhkan sifat lapang dada dan siap untuk menerima nasehat. Pikiran dan hati senantiasa dikondosikan untuk siap dan mudah menerima nasehat.

Islam adalah agama rahmat yang diraih dengan saling menasehati, Sebagaimana Rasulullah SAW dalam sabdanya:

عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْمٍ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِي رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari ra, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim).

Dengan Rahmat-Nya keindahan dan kebahagiaan sejati akan diraih, Sebagaimana petunjuk Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
{قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ}

“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang berilmu) bergembira (berbangga), kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kesenangan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)” (QS Yunus:58).

Dalam ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar mereka merasa bangga (gembira dan bahagia) dengan anugerah yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka.

Karunia Allah dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ulama ahli tafsir dengan “keimanan”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan dengan “Al Qur-an”, yang keduanya (keimanan dan Al Qur-an) adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh, sekaligus keduanya merupakan petunjuk dan agama yang benar.

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata, “Kenikmatan (yang berupa) agama (iman) yang bergandengan dengan kebahagiaan dunia dan akhirat (jelas) tidak bisa dibandingkan dengan semua kenikmatan duniawi yang hanya sementara dan akan hilang”

Mensyukuri karunia iman dalam diri dengan senantiasa mewujudkannya dalam kehidupan keseharian dengan akhlaq mulia. Hal itu semoga menimbulkan semangat untuk selalu nasehat menasehati dalam kebenaran dan nasehat menasehati dengan cara uang benar.
Walla Alam bishshowaf. (*)