Wednesday, 8 November 2023 | 01:56 Wita

Rindu di Atas Rindu

Editor: Humas DPW Hidayatullah Sulsel
Share

Oleh : Dra.Syamsiah Abdullah, Ketua Majelis Murobbiyah Wilayah Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Setiap insan yang sempurna memiliki rasa rindu. Dari aspek manusiawi rindu adalah keniscayaan bagi setiap manusia yang memiliki nafsu dan hasrat. Kerinduan adalah keinginan kuat untuk bertemu dengan yang dirindukan.

Rindu adalah titik temu antara harapan dan kerinduan. Rindu akan muncul secara tiba-tiba ketika memiliki hubungan dan ikatan emosi dalam kenangan hidup yang membekas dalam dirinya, yang ketika merindukannya tidak menemukan atau merasa kehilangan.

Al Gazali mendefinisikan rindu sebagai mahabba (cinta), cinta terhadap suatu obyek. Dengan cinta rindu akan datang dengan sendirinya. Rindu adalah suatu kondisi emosional tinggi untuk bisa bertemu dengan yang dirindukan.

Rindu datangnya dari cinta. Semakin tinggi rasa cinta seseorang semakin besar kemungkinan untuk rindu, ketika tak bertemu atau berpisah dengannya. Seseorang yang mengungkapkan rasa rindu tanpa cinta itu adalah rindu semu dari cinta semu, bahkan karena tak ada dasar cinta sama sekali.

Di saat kerinduan muncul baik tiba-tiba atau pun sesuatu yang direncanakan sebelumnya untuk bertemu membuat tercipta kerinduan.

Agar rindu kita bermakna dan benar, kita harus memiliki analisis terhadap kerinduan itu, yang mana boleh atau tidak boleh, yang mana dibenarkan atau terlarang, seperti penjelasan berikut;

Pertama, Merindukan seseorang. Pada dasarnya manusia memiliki sifat manusiawi yang saling merindukan antara satu dengan yang lainnya, kerinduan semacam ini adalah fitrah insaniyah. Dimana manusia memiliki rasa sayang dan cinta yang dikaruniakan Allah kepadanya.

Rindu dibolehkan sesama insan adalah rindu yang dilandasi atas dasar cinta karena Allah dan sesuai syariat Allah serta sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah. Yakni rindu karena saling mencintai karena Allah, seperti yang dijamin oleh Rasulullah dalam hadisnya. Tentang diantara tujuh golongan yang mendapatkan naungan di akhirat disaat tidak ada lagi naungan selain dari naungan Allah

Dalam hadits Rasulullah oleh riwayat Bokhari, salah satu golongan itu adalah “dua orang saling mencintai karena Allah, mereka tidak bertemu kecuali karena Allah dan berpisah karena Allah”

Saat tak dapat bertemu pun dengan seorang yang dirindukannya, masih ada jalan pelepas rindu baginya yakni dengan mendoakannya dari jauh “Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.” (HR Muslim)

Kalau rindu karena cinta kepada saudara dan sesama seiman dibangun dengan dasar semata karena cinta kepada Allah. Demikian halnya benci dan rindu adalah juga karena Allah.

Merindukannya karena keimanan dan ketaatan atas perintah Allah, juga membenci keburukan dan kemaksiatan saudara kita, bukan membenci orangnya namun perbuatan maksiatnya kepada Allah.

Kedua, rindu kepada Rasulullah. Tidak ada cinta melebihi cintanya kepada Allah SWT dan Nabi-Nya. Tidak akan menemukan rindu yang lebih berat kecuali kepada Rasulullah SAW, menyebabkan cintanya kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW melebihi cintanya kepada diri sendiri.

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh umat manusia.” (HR Bukhari).

Ekspresi rindu para sahabat kepada Rasulullah dinampakkan begitu mendalam. Karena rindunya kepada Nabi, sampai Bilal tidak mampu lagi mengumandangkan azan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Istrinya sedih, sebab ia akan berpisah dengan Bilal, suaminya.

Abu Bakar ash-Shiddiq, juga demikian. Katanya, “Sungguh, malam yang paling bahagia adalah malam kematianku. Sebab, aku akan segera bertemu denganmu wahai Rasulullah.”. Sepeninggal beliau, rindunya kepada Nabi tidak pernah bertepi.

Dalam hadits lain juga disebutkan, “Ada tiga perkara yang jika seseorang memilikinya, nicaya ia akan merasakan manisnya iman; orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selainnya, orang yang mencintai saudaranya karena Allah, ….” (HR Bukhari).  

Beda cinta pada manusia umumnya dibanding cinta pada Rasulullah, sebab tidak hanya melahirkan rindu, tapi juga ketaatan pada Rasul-Nya.

Ia pun akan tunduk serta patuh kepadanya secara keseluruhan “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS Ali Imran: 3).

Dahsyadnya cinta dan rindu kepada Rasulullah, walau tak pernah kita dan tidak dapat lagi bersua dengannya. tetapi sosoknya bisa kita kenal melalui sirahnya. Tak kita dapati manusia seagung dia, yang akan dibela mati-matian ketika ada yang menghinanya.

Wujud rindu padanya adalah menteladani akhlaqnya adalah sebagai bagian dari keimanan. Akhlaknya adalah Alquran dan sunnahnya. Mempelajari sosoknya serta mengamalkan sunnahnya akan menjadi manusia mulia dan besar. Rindu ummat kepadanya karena beliau juga sangat cinta dan rindu pada umatnya.

Ketiga, Rindu kepada Sang Khaliq, Allah Ta’ala. Adalah rindu hakiki, dan tiada kerinduan melebihi kerinduan kepada Allah Ta’ala.

Dalam kerinduan kita kepada Allah akan selalu menghadirkan diri menggapai cinta yang hakiki dalam keabadian yang pasti.

Kepastian bahwa rindu dan cinta yang hakiki hanya akan kita temukan dalam kasih dan sayang sang Khaliq, Allah Azza Wajalla.

Buah dari ketulusan cinta adalah munculnya rasa rindu. Di sanalah hati akan menemukan makna cinta yang hakiki, cinta yang lahir dari kesadanan dzikir dan fikir hingga menyentuh relung kalbu yang paling dalam dan terpendam kuat. Tak tergoyahkan oleh goncangan waktu dan problematika kehidupan.

Sedangkan cinta yang tulus dimiliki seseorang dengan yang dicintainya adalah ketika selalu rindu ingin bertemu dengan yang ia cintai.

Cinta sejati pada Allah adalah ketika tak ada keinginan yang lebih penting dan lebih utama dari pada selain berjumpa dengan kekasih-Nya.

Seorang mukmin yang mencintai Allah niscaya akan selalu mengingat dan menyebut nama-Nya. baik dalam ibadah dan dalam segenap aktivitas kesehariannya disemua kondisi.

Sehingga hatinya merasa senang dan tenteram saat menghabiskan waktu berjumpa dengan-Nya. Tak sekedar melaksanakan ibadah wajib, dia menyengaja meluangkan waktu secara khusus untuk bermujahadah mendekatkan diri kepada-Nya.

Abu Razin Aluqaili pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah keimanan itu?” Rasul menjawab; “Menjadikan Allah dan Rasul-Nya yang lebih engkau cintai daripada yang lain.”

Sekali lagi, rindu pada Allah diatas kerinduan kepada selain-Nya. Sebaik-baik cinta dan rindu adalah menyandarkan semua cinta kita hanya pada Allah semata.

Kalaupun ada makhluk yang kita sangat cintai, sepantasnya kita mencintainya karena cinta kita kepada Allah juga.

Bukti cinta dan rindu seorang hamba kepada Allah adalah ketaatan terhadap perintah-Nya dalam amalan keseharian sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasullah melalulu sunnahnya.

Selain itu memiliki tanggung jawab sosial dengan mendakwakan akan indahnya beriman kepada Allah kepada seluruh umat manusia di permukaan bumi.
Membela Din-Nya ketika akan menganggu dan melecehkannya.

Serta mewujudkan bukti kebenaran Islam ini dalam tatanan masyarakat berperadaban Islam. Yakni masyarakat yang hidup damai dan bahagia dengan syariat-Nya, dalam naungan cinta dan kasih Allah Taala.(*)