Saturday, 25 November 2023 | 22:59 Wita

Life Revolution – Life Journey

Editor: admin
Share

Oleh : Bachtiar Aras, Trainer Life Revolution

HidayatullahSulsel.com — Penulis memulai dengan sebuah pertanyaan, “Apakah sesungguhnya yang paling berharga dalam hidup, yang mampu mendatangkan kebahagiaan?”

Silahkan anda menulis di secarik kertas hingga seberapa yang anda bisa tulis. Kemudian, di antara sekian banyak yang anda tulis, maka ambillah empat hal saja yang anda anggap paling berharga dalam hidup dan mampu membuat anda bahagia.

Dan kita sedikit bersimulasi, jika karena satu dan lain hal, anda harus dituntut untuk melepaskan dua hal paling berharga tersebut dan dua hal lainnya masih tetap dipertahankan.

Maka sekarang, dua hal yang anda harus lepaskan, silahkan anda pegang di tangan kiri anda sedang dua hal yang anda masih pertahankan, silahkan diletakkan di tangan kanan anda.

Dan ternyata, karena satu dan lain hal lagi, dari dua yang paling berharga yang ada di tangan kanan anda, anda dituntut untuk melepas salah satunya. Maka, silahkan pilih satu yang anda anggap paling berharga dalam hidup anda dan letakkan di tangan kanan anda, sementara yang anda lepaskan, silahkan letakkan di tangan kiri.

Yang tersisa di tangan kanan anda adalah sesuatu yang paling berharga dalam hidup anda dan bisa memberikan kebahagiaan. Silahkan disimpan kertas itu untuk kemudian kita akan melihat kesimpulan akhir dari tulisan ini. Yang in syaa Allah akan terjawab bahwa ternyata ada hal yang paling berharga dalam kehidupan di dunia ini.

Dari sekian banyak pelatihan yang penulis sampaikan, beberapa jawaban yang sering muncul berkisar pada hal-hal yang menyangkut kekayaan, keluarga (istri/suami, anak), pangkat dan jabatan, ibadah, cinta, kasih sayang, sahabat, waktu, harga diri, kebaikan, kejujuran, tawa riang, kesehatan, belajar, bersenang-senang, makan, minum, pakaian, mobil, percaya diri, dan lain sebagainya.

Namun kemudian, kalau kita melihat garis besarnya, maka ada tiga yang menjadi “choice Majorities” atau mayoritas pilihan yang dipersepsikan oleh hampir sebagian besar umat manusia di muka bumi ini, yang menurut mereka paling berharga dalam hidup dan juga mampu mendatangkan kebahagiaan buat mereka, yaitu : uang atau harta, jabatan tinggi, suami/istri atau pasangan hidup.

Apa yang dicari oleh manusia?
Seorang suami rela meninggalkan keluarganya, anak dan istrinya, pergi pagi pulang petang dalam rangka ia mencari nafkah. Bagi yang berprofesi pegawai negeri (ASN) atau karyawan karyawati swasta, mereka harus masuk ke kantor jam 7.30 dan pulang jam 17.00, belum lagi jam-jam lembur yang ditetapkan oleh kantor ataupun perusahaan.

Kurang lebih 8 jam mereka bekerja keras, tanpa kenal lelah dalam rangka mencari nafkah dengan gaji yang mereka dapat setiap bulannya. Masih syukur bagi karyawan kantoran, mereka tetap masih merasa nyaman dengan suasana kantor yang adem karena difasilitasi dengan puluhan AC.

Pernahkah kita bayangkan, para pekerja kasar seperti kuli bangunan, kuli pelabuhan, calo penumpang, pedagang kaki lima dan sejenisnya, mereka harus meninggalkan tempat tinggalnya di kala matahari mulai menampakkan wajahnya. Di kota kota besar seperti Jakarta atau Surabaya misalnya, mereka rela bergelantungan di sisi kiri kanan kereta api bahkan ada yang rela duduk di atas gerbong kereta api karena tidak kebagian tempat sementara harus mencari mata pencaharian di tempat lain.

Nyawa pun menjadi taruhannya dalam rangka mereka mendapatkan nafkah untuk keluarganya. Pemandangan ini sering kita lihat di stasiun stasiun kereta api di Jakarta.

Ada juga sebagian dari kita yang tergiur untuk mencari nafkah di negeri orang nun jauh di sana. Mereka tertarik dengan iming-iming gaji yang tinggi. Namun setelah tiba di sana, justru kesengsaraanlah yang mereka dapatkan karena ternyata kedatangannya dianggap sebagai tenaga kerja ilegal.

Termasuk TKW yang dikirim ke luar negeri, walaupun status mereka legal namun tidak sedikit dari mereka mendapatkan perlakuan yang tidak wajar dari majikan majikan mereka. Ibarat pepatah, “Maksud hati meraup uang di negeri orang, apa daya kesengsaraanlah yang diperoleh”.

Lagi-lagi yang dicari adalah uang dan uang.
Tidak sedikit juga kita saksikan, banyaknya single parent, atau janda-janda yang memiliki anak yang masih kecil, mereka rela bekerja keras sampai pada tingkat mereka harus melakukan pekerjaan yang tidak sesuai fitrah mereka. Pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh kaum Adam, apa boleh buat karena desakan ekonomi sehingga menjadi “pengangkut batu cadas” bukan lagi hal yang tabu buat mereka.

Ironis, beban hidup sudah berat sebagai seorang single parent ditambah lagi beban mengangkat batu semakin berat pula. Astaghfirullah…

Selanjutnya, ada orang yang harus rela bergumul di tempat tempat yang kotor, bau busuk yang menusuk hidung setiap orang yang lewat sekitar tempat itu. Mereka adalah para pekerja di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.

Mengais-ngais barang-barang buangan yang masih bisa diuangkan. Bayangkan, kalau kita lewat sekitar pembuangan sampah itu, pastilah kita tidak tahan dengan bau busuk yang sangat menyengat. Tapi bagi mereka (pekerja sampah), sudah terbiasa dengan hal tersebut. Semuanya itu mereka lakukan dalam rangka mendapatkan nafkah, kalau bahasa sedihnya, mencari sesuap nasi untuk keluarga.

Kemudian, beberapa orang yang mencari nafkah dengan menjajakan barang-barang kelontongan keliling kampung. Tersebutlah seorang bapak paruh baya, dalam rangka mencari nafkah yang halal, ia rela bekerja sebagai pedagang kuali keliling kampung.

Kuali atau peiruk yang terbuat dari tanah liat itu diikat dengan tali rafiah di setiap sisi sepedanya yang butut. Pernahkah kita bayangkan kalau saja sepedanya jatuh, pastilah barang-barangnya hancur semua. Boro boro dapat untung malah jadi buntung.

Tapi itulah kehidupan, dalam rangka mencarinya, segala cara bisa ditempuh, yang penting halal.
Lain yang bekerja sebagai pedagang kecil, lain juga yang bekerja sebagai karyawan pabrik.

Karyawan dan karyawati pabrik bisa saja bekerja seperti sibuknya mesin produksi sehingga tidak sedikit dari pabrik semisal perusahaan rokok merekrut ratusan bahkan ribuan pekerja agar pabrik bisa memproduksi lebih banyak lagi.

Sehingga bisa kita bayangkan kalau manusia bekerja seperti mesin yang bisa saja lupa makan, lupa tidur, lupa beribadah, tapi karena mereka butuh duit, gaji, nafkah, maka itulah yang mereka lakukan.

Pernahkah juga kita bayangkan bagaimana orang yang bekerja di bursa efek. Dengan suasana kursi yang mepet satu sama lain. Hampir tidak ada celah antara kursi yang satu dengan yang lainnya. Para pekerja duduk rapat, hanya ada kotak kecil di depan mereka untuk melihat pergerakan bursa. Saking padat dan mepetnya kursi kerjanya sehingga sekedar keluar saja untuk buang air kecil, sulitnya setengah mati.

Namun hal itu menjadi biasa bagi yang sudah lama menggeluti pekerjaan tersebut. Karena terjebak pada rutinitas pekerjaan, nyaris mereka lupa yang lainnya, yang penting kerja, kerja, kerja dan dapat gaji.

Pernahkah juga kita bayangkan bagaimana seorang wanita karier yang dilanda sesuatu yang dilematis antara karier dan keluarga. Ia memiliki seorang anak usia satu setengah tahun. Sebelum ia berangkat kerja, ia menyantap sarapan sambil matanya tertuju ke handphone yang diletakkan dekat piringnya.

Sementara tangan kirinya memegang dot berisi susu instant yang disodorkan ke mulut anak kecilnya. Sembari memasukkan makanan ke mulutnya, ia membaca SMS atau Whatsapp ditambah lagi, sambil menyuap susu dot kepada anaknya.

Ya, setali tiga uang alias three in one, tiga aktivitas dalam waktu yang bersamaan ia lakukan. Bayangkan saja, di saat sang ibu menyuapkan susu dot ke anak kecilnya sambil melihat handphonenya plus mengunyah makanan, anak kecilnya pun menatap tajam ke wajah ibunya.

Seandainya anak itu bisa berbicara, ia akan berkata, “Bu, mana tatapan kasih sayangmu padaku?”. Kalau suasana seperti ini rutin terjadi, menyebabkan anak kehilangan sentuhan kasih sayang dari ibunya. Bukankah sentuhan kasih sayang yang paling pertama dan utama itu seharusnya datang dari ibu?

Bukankah ibu adalah madrasah pertama dalam rumah tangga? Namun karena tuntutan ekonomi, kasih sayang ibu anak terbengkalai bahkan lenyap ditelan bumi. Kalau sudah demikian, wajar kalau kita pernah mendengar sebuah kisah di kala seorang anak diperhadapkan dua orang yaitu ibu kandungnya dan pembantu rumah tangga yang mengasuh sang anak.

Di kala sang anak ditanya saat ia usia remaja, “Yang manakah ibumu di antara dua perempuan ini?”. Sungguh mengagetkan tatkala sang anak menjawab bahwa ibunya adalah yang merawat dan melayani ia setiap hari, yaitu ternyata pembantu alias asisten rumah tangganya.

Ibu kandung sang anak pun merasa sedih dan menyadari kekhilafannya selama ini.
Hal ini bisa saja terjadi, betapa tidak, ibu yang berprofesi wanita karier ini berangkat ke tempat kerja sementara sang anak masih tidur dan ia kembali dari kerja di malam hari di kala anaknya sudah terlelap tidur.

Lagi-lagi ironis, antara karier dan keluarga menjadi dilema hanya untuk memperoleh nafkah.(*)