Monday, 3 June 2024 | 05:28 Wita

Taat, Niat dan Perjuangan

Editor: admin
Share

Catatan Pelatihan Kepemimpinan Hidayatullah Institut (1)

Oleh: Ust Sarmadani Kirani, Ketua DPD Hidayatullah Sidrap

HidayatullahSulsel.com — Seribu kalimat bisa keluar untuk tidak taat. Cukup satu kata untuk taat,

Bismillah… Malam itu, selepas Isya di kampus Al Bayan Hidayatullah Makassar, Senin malam, (26/05), waktu menunjukkan pukul 20.25 malam. Nang ning nang ning nong… nang ning nang nong… hape ku berdering.

Telpon via wa dari Ketua DPW. “Posisi sudah dimana?…” Tanya beliau. “Sudah masuk pondok Ustad” jawab ku singkat. “Baik, saya tunggu di belakang (cafe interlud)” lanjut beliau.

Malam itu, aku baru saja bersilaturahim dari Hidayatullah Tanralili. Saya gas mobil menuju Bonto Ramba, menurunkan anak-anak di rumah dan bergegas menuju warkop interlude, tepat di belakang pondok.

Masuk warkop, sempat berjumpa dengan beberapa kawan-kawan yang mau rapat, dan kemudian kami mengambil posisi berdua.

Rapat, berdua, seakan berhalaqah jibril. Cerita dimulai, setelah pesan kopi, ubi goreng dan pisang goreng susu gula merah.

Cerita yang dimulai pukul 20.30, malam itu, diawali. Cerita pengembangan diri, ceramah motivasi dari beliau sebagai seorang guru.

Antum ini kader, punya potensi, harus banyak belajar, bla…bla… dan intinya jangan kuttu. Kurang lebih begitu.

Banyak cerita yang terus berkembang, sambil senyum dan tertawa, kunikmati nasihat dari sang guru, Ustad Drs. Nasri Buhari, M.Pd., klKetua DPW Hidayatullah Sulsel saat ini.

Malam itu aku terus tersudut, akibat ungkapan rasa malas untuk mengikuti training Hidayatullah Institut di Jakarta. Secara terang-terangan aku sudah menolaknya lewat kadep organisasi, Ustad Anwar.

Aku tidak bisa berangkat, cari saja yang lain, insyaallah saya sudah tidak kemana-mana, ucapku meyakinkan Ustad Anwar Baits.

Tapi, malam itu, Ketua DPW Hidayatullah Sulsel terus mencecar, hingga beliau melihat urgensi nya seorang kader, tampil di depan, menjadi sosok figur kultural dalam segala. Bahasa Qurannya, Kuntum khaira ummah, ukhrijat linnas … ila akhiril ayat.

Hal ini yang rasanya membuat saya ter-skak mat, dalam istilah catur. Raja sudah skak mat, dan tidak ada lagi jalan melangkah, tidak juga ada perlindungan.

Jika masih skak ster, itu masih lumayan. Bicara berlomba-lomba dalam kebaikan, ini yang tidak bisa ditawar lagi. Bismillah, saya ikut Ustad. Saya akan segera balik ke Sidrap, dan mempersiapkan diri berangkat.

Jujur, malam itu belum ada uang. Saya taat saja. Janji untuk mengambil telur mentah 30 rak di Baranti, saya batalkan dulu, untuk sementara produksi telur asin dipending, ownernya mau ikut acara pelatihan kepemimpinan di Jakarta.

Taat. Tidak cukup di situ. Ada suasana hati yang menyita gerak refleks air mata di pelupuknya. Satu dua tetes mengalir tanpa sadar. Saya sadar, selama ini sudah mulai berkurang, akan nilai heroisme, produktivitas, dan karya-karya di lapangan.

Di Bulcen rasanya tidak lebih dari sekedar sarang penyamun, untuk membegal dunia, lewat usaha telur asin, yang untungnya juga tidak seberapa.

Kutarik tisu di meja Interlude, untuk menyeka dua tetes air mata. Yang lebih parah lagi, rasanya, aku kadang masih terganggu dengan urusan niat.

Nawaitu saya ini, apakah benar-benar sungguh mau berjuang, atau sekedar cari jabatan, atau sekedar mau dibilang hebat, jago, paling berhasil, telah sukses dan kadang itu semua yang membuat kita jumawa.

Jumawa, bukan sekedar merasa ada sakit hati jika nama kita tidak disebut dalam sambutan, padahal dia paling ini, paling itu, pendiri, punya prestasi, mantan ketua yayasan lagi.

Ada sakit. Bahkan, karena prestasi, pernah berkarya, punya hasil nyata, kita tidak mau dipindah tugaskan lagi. Ini yang buat saya menangis.

Jangan sampai saya begini, seperti itu juga. Ya Allah. Tak kuasa aku malam itu. Ya Allah jaga nawaitu ini. Malam itu, kami hingga pukul 10.45. Karena pertemuan malam ini, ada sedikit suasana baru. Harus produktif, progresif, dan tetap menjaga nawaitu.

Berjihad, tapi tetap menata hati untuk meluruskan niat.(*)



BACA JUGA