Tuesday, 27 August 2024 | 09:02 Wita

Menikahlah Walau Maharmu Sepasang Sandal

Editor: admin
Share

Oleh: Nasri Bukhari MPd, Ketua DPW Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Pernikahan di Sasak tahun 2020 lalu di Lombok Tengah sempat viral, Pasalnya karena sang mempelai wanita hanya meminta maskawin (mahar) berupa sandal jepit dan segelas air. Motifnya karena tidak mau menyusahkan suami dan keluarganya dan menjadi kenang-kenangan yang akan diceritakan pada anak-anaknya kelak.

(Walau belakangan kejadian tersebut terendus hanya sekedar konten medsos)

Peristiwa serupa pernah terjadi di zaman Rasul (ini tentunya kejadian sebenarnya, bukan rekayasa) seperti dikisahkan dalam hadits, bahwa seorang perempuan dari Bani Fazarah dinikahkan dengan mahar sepasang sandal.

Rasulullah SAW bertanya, “Apakah engkau ridha dari dirimu dan hartamu dengan sepasang sandal?” perempuan tersebut menjawab, “ya” Rasulullah pun membolehkannya. [HR Tirmidzi].

Dalam kisah lain, seorang sahabat berkata, “Ya Rasulullah, kawinkanlah saya dengan itu…..Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Apakah kamu mempunyai sesuatu yang dapat kamu pergunakan sebagai mahar untuknya ?”.

Ia menjawab, “Saya tidak memiliki apapun melainkan pakaian ini”. Lalu Nabi bersabda, “Jika pakaianmu itu kamu berikan kepadanya maka kamu tidak berpakaian lagi. Maka carilah sesuatu yang lain”.

Kemudian laki-laki itu berkata, “Saya tidak mendapatkan sesuatu yang lain”. Lalu Nabi SAW bersabda, “Carilah (maskawin), meskipun berupa cincin dari besi”. Lalu laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak mendapatkannya.

Kemudian Nabi SAW bertanya kepadanya, “Apakah kamu memiliki hafalan ayat Al-Qur’an ?”. Ia menjawab, “Ya. Surat ini dan surat ini”. Ia menyebutkan nama-nama surat tersebut. Kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya, “Sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya dengan apa yang kamu miliki dari Al-Qur’an itu”. [HR Bukhari]

Pernikahan adalah salah satu kebutuhan biologis dan fitrawi yang sangat azazi. Logis bahkan strategis kalau Islam sebagai agama fitrah sangat concern terhadap urusan tersebut. Semestinya tatatan dan pranata-pranata untuk melangsungkannya dimudahkan dan diringankan prosesnya, termasuk penyediaan mahar sebagai syarat sah pernikahan

Mahar yang bermakna tanda pengikat [Kamus al-Munjid] atau stempel [Kamus Munawwir], yang wajib diberikan oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang disebut dalam akad nikah sebagai pernyataan persetujuan antara pria dan wanita itu untuk hidup bersama sebagai suami istri.[ al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah].

Sebagaimana peristiswa serta dari hadis tersebut, sepatutnya mahar pernikahan tidaklah mesti dengan benda atau harta yang tinggi nilainya, yang bisa memberatkan, dan berujung mempersulit terlaksananya pernikahan.

Walau mempelai laki-laki mampu memberi mahar mahal, kesederhanaan mahar adalah prilaku positif, dan lebih memperhatikan terhadap yang lebih utama, yakni nilai-nilai syatriat dalam prosesi pernikahan.

Tidak bermaksud merendahkan keberadaan mahar, namun terlalu menstandarkan tinggi mahar terkadang membuat seseorang lebih memilih menunda pernikahan.

Lebih parah lagi, banyak lebih memilih berpacaran dulu, setelah dirasa uang cukup untuk mahar baruLah menikah. Kalau terjadi seperti ini, berarti akan membuka lubang terjadinya perbuatan dan pergaulan yang tidak Islami.

Wahai kawan, permudalah pernikahan, ringankanlah mahar. Ketika siap mental dan iman, segeralah menikah.

Nabi bersabda: “Nikah termasuk sunnahku. Barangsiapa tidak mengamalkan sunnahku, ia tidak termasuk golonganku. Menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku. Barangsiapa memiliki kemampuan untuk menikah, maka menikahlah.” (HR Ibnu Majah).(*)



BACA JUGA