Thursday, 29 August 2024 | 16:00 Wita

Uang Panai’, Antara Status Sosial dan Anjuran Syariat Diringankan

Editor: admin
Share

Oleh: Drs Nasri Bukhari MPd, Ketua DPW Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Uang panai’ terbilang merupakan salah satu hal yang sakral dalam tradisi pernikahan di suku Bugis-Makassar. Uang Panai’ diberikan oleh pihak mempelai laki-laki untuk membiayai pernikahan pihak perempuan.

Banyak mempersamakan uang panai’ dengan mahar dalam pernikahan, padahal keduanya memiliki kedudukan yang berbeda.

Uang panai’ untuk tujuan membiayai segala kebutuhan pelaksanaan pernikahan pengantin perempuan. Adapun mahar adalah pemberian dari pengantin pria sebagai syarat sahnya pernikahan dan secara sah dan mutlak menjadi milik sang wanita setelah menjadi istri.

Budayawan Bugis-Makassar, Burhan Kadir M.A menjelaskan, bahwa “uang panai’ bagi masyarakat Bugis-Makassar lebih penting dibandingkan mahar, dan sangat penting, bahkan bisa dikatakan wajib ada ketimbang mahar.

Juga menyimpan makna yang dalam pada proses pernikahan, melambangkan perjuangan, keuletan dan kerja keras dari sang mempelai pria untuk meminang seorang wanita Bugis-Makassar.”

Uang Panai’ juga adalah “penjaga” nilai status sosial keluarga dari kedua belah pihak. Dan lebih sering adalah perlambangan status sosial dari pihak perempuan.

Sebelumnya status sosial itu adalah karena dasar pertimbangan sebagai anak bangsawan, belakangan bergeser juga pada status kekayaan, pejabat, pendidikan tinggi, dan pekerjaan mempelaui wanita.

Demi status sosial, uang panai’ dapat dijadikan sebagai penentu harga diiri yang melekat pada dari sang wanita. Dan juga bisa sebagai bentuk penolakan dari sang wanita yakni dengan mahar sangat tinggi, hingga dipandang tak akan sanggup dipenuhi mahar itu oleh laki-laki.

Seiring perkembangan masyarakat yang semakin modern dan hedonisme, makna uang panai’ semakin mengalami pergeseran dari sekedar ‘penjaga’ status sosial menjadi ‘menjaga’ dan mengangkat status sosial, serta menaikkan gensi.

Dimana terasa derajat sosialnya tinggi ketika tersebut dan terdengar tingginya jumlah uang panai’.

Tak jarang demi gengsi, pihak laki-laki dan perempuan berurunan untuk mencukupkan sejumlah kesepakatan uang panai. Lebih ironis lagi, terkadang terjadi main mata dari kedua belah pihak, seperti di tengah keluarga disebut uang panai dengan nilai tinggi, sementara kenyataannya tak sesuai yang diberikan.

***

Uang Panai dalam tinjauan syariah.

Walau sangat urgen dan wajib kedudukan dari uang panai’ dalam tradisi pernikahan di masyarakat Bugis-Makassar, tetapi karena nikah adalah syariat Allah yang disunnahkan oleh Rasulullah, maka hukum uang panai tetaplah harus berdasarkan hukum syariat Islam.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan mengeluarkan fatwa, bahwa uang panai hukumnya mubah atau diperbolehkan. Asalkan tidak mempersulit atau memberatkan pihak pria yang akan mempersunting wanita.

“Yang penting kesepakatan kedua belah pihak. Dalam istilah agama, dua-duanya rela. Tapi jangan memberatkan dan jangan menyulitkan,” kata Ketua MUI Sulsel Prof Najamuddin.” Sabtu (2/7/2022).

Jika dikaji lebih dalam dari aspek pandangan Islam, sebenarnya uang panai’ hanya sebuah tradisi yang disepakati dalam budaya Bugis-Makassar. Bukanlah bagian dari syarat sahnya menikah dan bukan pula salah satu kewajiban yang harus ditunaikan dalam sebuah syariaat pernikahan.

Sebab hakikat pernikahan adalah suatu ikatan yang sangat kuat dan hal yang suci serta mulia (QS. Ar-Ruum 30;22).

Pernikahan dalam Islam adalah mempertemukan dua insan pria dan wanita, menuju mahligah dalam cinta dan Ridhoi Ilahi.

Sehingga terhimpunnya dua keluarga besar dari kedua belah pihak. Dan terus berkembang menjadi masyarakat yang menghasilkan keturunan yang saleh, dari keluar bahagia dan sakinah.

Dengan tetap menghargai tradisi yang berlaku di masuayakat, sunnah pernikahan yang mulia ini, sejatjinya lebih memperhatikan nilai-nilai syariat, dan lebih menyederhanakan acara perayaan pernikahan yang Islami dengan maksud tidak melebih-lebihkan.

Berpedoman kepada anjuran baginda Rasulullah dalam Hadis Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya pernikahan yang paling besar keberkahannya adalah paling ringan maharnya” (H.R. Ahmad).(*)



BACA JUGA