Thursday, 31 March 2022 | 10:52 Wita
Puasa Adalah Mengendalikan
■ Oleh : Ustadz Dr Tasmil Latif MPd, Ketua Dewan Murobbi Hidayatullah Pusat
HidayatullahSulsel.com — Imam Al Ghazali di dalam kitab “Ihya Ulumuddin” membagi tiga tingkatan puasa. Pertama puasa umum, kedua puasa khusus, dan yang ketiga puasa paling khusus.
Tiga tingkatan ini disusun berdasarkan sifat orang yang mengerjakan puasa. Pada puasa umun yakni puasa yang hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum saja. Tetapi perbuatan maksiat kepada Allah tetap dilakukannya. Ini puasa yang banyak dilakukan oleh orang awam.
Arti puasa bagi mereka hanya sebatas menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa secara dzahir.
Berbeda dengan tingkatan kedua, yakni puasa khusus. Puasa ini adalah puasa orang-orang shaleh. Mereka lebih baik dari puasa yang pertama tadi, sebab mereka paham bahwa puasa tidak hanya menahan lapar dan haus saja, tetapi juga menahan diri dari melakukan dosa.
Selanjutnya yang ketiga adalah puasa paling khusus. Puasa ini jauh lebih berkualitas dari tingkatan puasa pertama dan kedua tadi, karena dikerjakan hanya oleh orang-orang tertentu dan hanya sedikit orang yang sampai pada tahap ini.
Orang yang ada pada tahap ini, selain menahan lapar dan haus dan menahan diri untuk tidak bermaksiat, mereka juga memfokuskan pikirannya untuk senantiasa selalu mengingat Allah ta’ala. Bahkan, pikiran selain Allah dan pikiran terhadap dunia dianggap merusak dan membatalkan puasa.
Dari tiga tingkatan puasa ini tentu yang paling utama adalah tingkatan yang ketiga dimana kita benar-benar dituntut untuk senantiasa memfokuskan pikiran hanya kepada Allah saja. Selain itu jangan dipikirkan sebab itu merusak atau membatalkan puasa.
Tapi secara umum, puasa itu adalah mengendalikan. Apa yang dikendalikan adalah semua bentuk yang dapat membatalkan puasa.
Termasuk yang dikendalaikan adalah hawa nafsu sebab hawa nafsu ini memang berat untuk ditaklukkan karena nafsu ini sudah bertahta di dalam diri manusia.
Makanya dalam Firman Allah Ta’ala dalam penciptaan akal dan nafsu. Allah ta’ala berdialog dengan mereka. Akal menuruti Allah Ta’ala namun nafsu sangat susah dikendalikan karena degil.
Pengarang kitab Tanbihul Ghafilin (peringatan bagi orang yang lalai) Abu Laits As-Samarqandi menceritakan kisah penciptaan Akal (al-Aql) dan Nafsu (Nafsun atau Nufusun).
Saat penciptaan keduanya, ternyata Nafsu memiliki karakter yang degil, keras dan membangkang kepada Allah Ta’ala.
Dalam paparannya, Abu Laits As-Samarqandi menukil sebuah kitab karangan ‘Ustman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syaakir Al-Khaubawiyi, seorang ulama yang hidup pada abad ke 13 Hijrah.
Beliau menerangkan ketika Allah Ta’ala menciptakan Akal, maka Allah berfirman, “Wahai Akal menghadaplah engkau.” Maka Akal pun menghadap ke hadapan Allah. Kemudian Allah berfirman: “Wahai Akal berbaliklah engkau!”, lalu Akal pun berbalik menuruti perintah Allah.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman lagi: “Wahai Akal! Siapakah aku?”. Lalu Akal pun berkata, “Engkau adalah Tuhan yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu yang dhaif dan lemah”. Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Wahai Akal, tidak Ku-ciptakan makhluk yang lebih mulia daripada engkau.
Setelah itu, Allah Ta’ala menciptakan Nafsu, dan berfirman kepadanya: “Wahai Nafsu, menghadaplah kamu!”. Nafsu tidak menjawab dan sebaliknya mendiamkan diri. Kemudian Allah Ta’ala berfirman lagi: “Siapakah engkau dan siapakah Aku?”. Lalu nafsu berkata, “Aku adalah aku, dan Engkau adalah Engkau.”
Setelah itu, Allah Ta’ala menyiksanya di dalam neraka jahim selama 100 tahun, dan kemudian mengeluarkannya. Kemudian Allah Ta’ala berfirman: “Siapakah engkau dan siapakah Aku?”. Lalu Nafsu berkata, “Aku adalah aku dan Engkau adalah Engkau.”
Lalu Allah Ta’ala memasukkan Nafsu ke dalam neraka Juu’ (neraka yang penuh dengan rasa lapar) selama 100 tahun. Setelah dikeluarkan maka Allah Ta’ala berfirman: “Siapakah engkau dan siapakah Aku?”. Akhirnya Nafsu mengakui dengan berkata, “Aku adalah hamba-Mu dan Engkau adalah Tuhanku.”
Dalam kitab tersebut diterangkan bahwa dengan sebab itulah maka Allah Ta’ala mewajibkan puasa. Kisah ini memberi kita hikmah betapa membangkangnya Nafsu. Apabila seseorang tidak bisa mengendalikan (mengawal) nafsunya, maka ia akan mendapat kerugian yang amat besar.
Berikut firman Allah dalam Al-Qur’an: يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Wahai Daud! sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti Hawa Nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah…(QS Shad: 26).■ Ridwan Gagah
*) Disarikan dalam kajian Tarhib Ramadhan bakda subuh di Masjid Umar Bin Abdul Aziz Ponpes Hidayatullah Towuti, Luwu Timur
TERBARU
-
Man Slammed For Refusing To Stop Seat For Pregnant Girl Because He Worked A Long Change
25/11/2024 | 06:28 Wita
-
The most readily useful spot for black hookups: meet sexy singles today
25/11/2024 | 05:40 Wita
-
Enjoy fun and flirtatious gay chats
24/11/2024 | 20:59 Wita