Sunday, 25 August 2024 | 06:22 Wita

Nikmatnya Kawin Setelah Nikah

Editor: admin
Share

Jelang Pernikahan Mubarak Kader Hidayatullah di Hidayatullah Jeneponto

Oleh: Ust Nasri Bukhari MPd, Ketua DPW Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Banyak yang mengidentikkan kawin semakna dengan nikah. Seperti ketika orang bertanya, ‘sudah kawin ?, maka dijawabnya, iya, saya sudah kawin beberapa bulan lalu’. Dan yang dimaksud ‘sudah kawin’ dalam diskusi tersebut adalah ‘sudah nikah’.

Padahal kawin dan dan nikah itu sangat berbeda, segi makna dan pelaksanaan serta yang melakukannya. Banyak yang melakukan perkawinan tapi dia belum tentu telah melakukan pernikahan.

Pengertian kawin adalah hubungan biologis atau hubungan seksual antara pasangan suami dan istri atau antara laki dan perempuan.

Sementara hubungan biologis antara dua jenis kelamin, jantan dan betina, pada binatang atau hewan serta tumbuhan ataupun tanaman, juga diistilahkan dengan kawin.

Berbeda halnya dengan pengertian nikah, bermakna suatu ikatan sakral antara suami dan istri (laki-laki dan perempuan) yang sah di mata agama, adat, dan negara, yang tidak diberlakukan istilah tersebut pada selain manusia.

Dalam perfektif Islam, pernikahan adalah salah satu fase dalam hidup seorang muslim untuk menemukan pasangan hidup yang abadi, yang siap, mampu dan matang secara mental, emosional maupun finansial dalam memasuki kehidupan rumah tangga.

Bahkan dengan menjalankan syariat pernikahan adalah penyempurna terhadap separuh agamanya. Sesuatu yang dilakukan sebelumnya dikategorikan sebagai perbuatan larangan, dengan menikah hubungan suami-istri dalam mahliga rumah tangga akan bernilai menjalankan sunnah dan ibadah kepada-Nya.

“Siapa yang diberi karunia oleh Allah seorang istri yang salihah, berarti Allah telah menolongnya untuk menyempurnakan setengah agamanya. Karena itu, bertaqwalah kepada Allah setengah sisanya,” (H.R. Baihaqi).

Dalam pernikahan, terikata perjanjian antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama, yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya.

Lebih dari itu, diperintahkannya untuk mampu melakukan perkawinan diantara keduanya, mewujudkan salah tujuan nikah yakni untuk memperoleh keturunan yang baik.

Begitu istimewanya syariat Islam, mendudukkan eksistensi nikah agar terjalin hubungan diberkahi antara laki-laki dan perempuan.

Memposisikan kawin dapat bernilai ibadah jika diikat oleh ikatan pernikahan. Dan sebaliknya, diganjar sebagai perbuatan dosa besar jika melakukan hubungan perkawinan tanpa ikatan pernikahan

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji [kemaluan]. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya,” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Sehungan dengan hadits tersebut, dan berdasarkan konteks dan keadaan yang dialami seorang muslim, ketika mampu melangsungkan pernikahan, untuk segera mempersiapkan diri menuju jenjang pernikahan, mewujudkan sunnah Nabi.

Sebab dengan menikah akan mengantar seseorang terhindar dari kehidupan liberal, kehidupan yang melenakan untuk bebas bergaul, berhubungan, hingga terjerumus ke sifat kebinatangan, kawin mawin tanpa ikatan pernikahan, dan tidak pernah takut akan azab Allah.

Wahai pemuda, bersegerakanlah dirimu untuk menikah, sebagai bentuk keta’atan pada Allah dan Rasulnya. Niscaya engkau akan menikmati kebahagiaan dunia dan akhirat, yakni kebahagiaan ketika mengawini istrimu yang sah, kebahagiaan menggapai ridho-Nya, serta mendapatkan keturunan yang baik.(*)



BACA JUGA