Friday, 16 February 2024 | 17:28 Wita

Secuil Hikmah di Balik Perang Badar dan Uhud

Editor: admin
Share

Oleh : Ust Akib Junaid Kahar, Anggota Dewan Mudzakarah Hidayatullah

HidayatullahSulsel.com — Tanpa bermaksud mengecilkan, apa lagi sampai menafikan peran sekian banyak shahabat yang mendampingi Rasulullah dalam perjalanan dakwahnya, namun yang pasti, ada beberapa diantara para sahabat tersebut memiliki keistimewaan di atas standar rata-rata.

Salah satu sosok yang kami maksudkan, adalah Paman sekaligus saudara sesusuan Rasulullah, yakni Hamzah bin Abdul Muthalib. Keistimewaan beliau miliki diantaranya dapat terlihat melalui gelar disematkan oleh Rasulullah kepadanya, yakni “Asadullah (Singa Allah)”.

Pemberian gelar kepada Hamzah ketika itu, tentu saja tidak mengandung unsur nepotisme di dalamnya, sama sekali tidak ada hubungannya dengan faktor kekerabatan, apa lagi melalui cara-cara yang licik dan tidak bermoral.

Kemuliaan diraihnya murni karena penilaian obyektif, berdasar pada sepak terjang dan prestasi yang diukirnya, dan semua orang mengenal sosoknya, pasti memberi pengakuan sama.

Pengakuan diberikan kepada Hamzah, benar-benar berbasis pada penilaian sangat rasional dan berdasarkan pada hati nurani yang bersih. Bukan karena faktor tekanan, akibat tersandera oleh sekian banyak ulah mereka yang berpotensi untuk dipermasalahkan.

Sebagaimana lazimnya, Rasulullah memberi gelar kehormatan sebagai bentuk apresiasi, sekaligus menjadi motivasi dan inspirasi bagi sebanyak mungkin orang. Bukan karena ada tendensi tertentu, apa lagi bertujuan untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas Hamzah, agar layak menduduki posisi sebagai panglima perang saat itu, sekalipun usianya belum cukup.

Maka menjadi wajar kemudian, tatkala Hamzah menghembuskan nafas terakhir memicu kesedihan yang sangat mendalam di kalangan kaum muslimin ketika itu, tak terkecuali nabiullah Muhammad.

Kesedihan dirasakan akibat kematian Hamzah pada tahun ketiga Hijriah, sejatinya hanyalah pelengkap atas kesedihan yang telah merata sebelumnya, sebagai dampak kekalahan sangat menyakitkan dialami umat Islam pada perang Uhud.

Betapa tidak, baru saja 1 tahun sebelumnya, umat Islam merasakan euforia luar biasa, tatkala mereka berhasil keluar sebagai pemenang sangat spektakuler di perang Badar.

Kalau saja saat itu sudah ada lembaga survey, maka tidak satupun diantara mereka yang berani berspekulasi, memberikan prediksi kemenangan akan diraih kaum muslimin, sebab ditinjau dari segala sisi, mereka sangat mudah untuk dipecundangi.

Sempurnalah kemudian, sebab sejatinya pada perang Uhud, jika dianalogikan dalam pemilihan umum, di putaran pertama kaum muslimin sempat keluar sebagai pemenang, dan membuat pasukan kafir porak poranda.

Ada keyakinan yang sangat kuat, jika peperangan kali itu, mereka kembali akan keluar sebagai pemenang dan cukup dengan satu putaran.

Namun yang terjadi kemudian, benar-benar diluar dugaan, situasinya tiba-tiba berbalik, dan berguguranlah beberapa sahabat utama ketika itu, termasuk diantaranya sahabat Mush’ab bin Umair.

Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, bahwa Allah kemudian memberikan hiburan kepada kaum muslimin yang dilanda kegalauan luar biasa, berupa turunnya ayat 139 surat Ali Imran.

“Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu adalah orang yg benar-benar beriman”.

Pesan tersirat yang digambarkan dalam tafsir tersebut, penekanan pada kalimat terakhir dalam ayat itu, bahwa pada akhirnya tempat terpuji dan kemenangan pasti akan berpihak kepada orang yang beriman.

Karenanya, dalam konteks kehidupan kita hari ini, menjadi pekerjaan utama dan tugas terbesar kita sesungguhnya, adalah bagaimana menjadikan diri kita termasuk dalam barisan orang-orang yg beriman, yang tentu saja akan melalui aneka ragam ujian dengan sekian banyak levelnya.

Pada ayat 140, merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya, setelah Allah memberikan penekanan bahwa menang dan kalah adalah bagian dari takdirNya yang senantiasa dipergilirkan, secara khusus disebutkan dengan sangat gamblang

وَلِیَعۡلَمَ ٱللَّهُ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟

Bahwa kekalahan dialami umat Islam dalam setiap peperangan, dimaksudkan sebagai proses seleksi, mana yang benar-benar pejuang sejati, yg siap menerima dan menanggung segala resiko sebagai konsekwensi logisnya, dan siapa orang-orang yang berada pada barisan para pecundang, yang merupakan penumpang gelap, yang hanya mau berebut keuntungan saat kemenangan berhasil diraih.

Jika kita mencermati secara mendalam, khususnya pada perang Badar dan Uhud, maka ada hikmah besar yang sangat urgen untuk menjadi perhatian kita bersama.

Memenangkan sebuah pertarungan, tidak cukup hanya bermodalkan pada niat baik, ibadah tekun, semangat menggebu-gebu, keberanian yang luar biasa, kesiapan berkorban, bahkan termasuk mengandalkan dahsyatnya kekuatan doa.

Tapi lebih jauh dari itu, kita dituntut untuk memiliki perencanaan matang, khususnya pada pemilihan dan penguasaan tempat atau pos-pos strategis.

Pada perang Badar kita diajarkan, bagaimana Rasulullah seketika memutuskan untuk memindahkan markas perang, ketika seorang sahabat memberi masukan, berdasarkan ilmu strategi perang diketahuinya.

Dan berdasarkan Sunnatullah, merujuk pada ayat 11 Surah Ar – Ra’d “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. Termasuklah diantaranya, mutlaknya strategi yang jitu dalam pertarungan.

Tak dapat dipungkiri, secara manusiawi dan berdasarkan pada sunnatullah, pemicu utama kekalahan pada perang Uhud, adalah ketika posisi strategis yang dikuasai oleh pasukan pemanah ditinggalkan sebelum ada perintah dari Rasulullah.

Jika dianalogikan dalam konteks pemilu, maka yang dibutuhkan tidak hanya banyaknya pendukung, apa lagi perhitungannya pada kehadiran mereka di berbagai kegiatan, piawainya para team kampanye, hebatnya para jurkam yang tampil, termasuk kecerdasan kandidat dalam memilih kata dan merangkai kalimat yg memukau.

Semuanya akan menjadi sia-sia, tatkala posisi strategis diabaikan, mulai dari Petugas KPPS  sampai ketua KPU, dari panwas di TPS hingga ketua Bawaslu, dan begitulah seterusnya.

Akhirnya….

Semoga kita semua adalah generasi pejuang, yang bukan sebatas pembaca dan penikmat sejarah, tapi akan tiba saatnya, kita akan turut mengukir sejarah dengan tinta emas, keluar sebagai pemenang dalam pertarungan antara Al Haq dan Al Bathil.(*)



BACA JUGA