Sunday, 13 August 2023 | 06:37 Wita

Menakar Cinta di Ujung Senja,
Refleksi Jiwa Pejuang Perintis Dakwah Sulsel (1)

Editor: Humas DPW Hidayatullah Sulsel

Oleh : Dwi Fii Amanillah, Kadep Tarbiyah dan Kepesantrenan DPW Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Senja selalu saja identik dengan panorama indah penuh semburat warna bersepuh cahaya, sebelum akhirnya memudar seiring dengan datangnya kegelapan malam yang menyimpan berjuta misteri kehidupan.

Senja dalam kehidupan manusia pun sering dimaknai dengan periode emas bagi kedewasaan dan kematangan jiwa yang umumnya disematkan bagi mereka yang menginjak usia senja 50 tahun.

Dikatakan usia senja karena rata-rata usia ummat Rasulullah Muhammad SAW, sebagaimana usia beliau adalah 63 tahun. Bagi para pejuang dakwah, para pendamba wujudnya peradaban mulia, usia 50 tahun adalah puncak kemapanan spiritual.

Bercermin dari perjalanan perjuangan dakwah Rasulullah SAW dan para sahabatnya, tidak sedikit dari mereka yang masih tampil gagah berani terjun langsung di medan pertempuran melawan musuh-musuh Allah yang mencoba menghalangi dakwah dan ingin memadamkan cahaya Islam.

Spirit yang di back up oleh kekuatan ruhiyah menjadi modal untuk tetap bertahan dan terus berkarya serta totalitas mengabdikan diri untuk mengangkat Izzah Islam wal muslimin sebagaimana yang telah banyak dicontohkan para pendiri dan perintis lembaga dakwah dan perjuangan Islam baik dalam skala nasional maupun internasional, termasuk lembaga perjuangan Hidayatullah yang sudah berkiprah di dunia dakwah lebih dari 50 tahun.

Menarik jika kita menelusuri mencoba menyelami, memetik hikmah dan mengambil ibrah dari perjalanan hidup para pejuang dakwah yang telah berusia senja namun semakin giat terus berkarya tanpa kenal lelah berjuang hingga jantung berhenti berdetak dan nafas tak lagi bisa dihembuskan.

Mereka yang secara fisik mulai melemah tapi wajahnya semakin bersinar, jiwanya semakin tegar ditempa berbagai ujian dan problematika kehidupan.

Tidaklah ringan untuk mampu eksis di medan juang di masa penghujung zaman, ibaratnya seperti mengengam bara api, apatah lagi di usia yang tidak lagi muda.

Di ujung bagian Selatan pulau Sulawesi, di tengah hiruk-pikuk Kota Makassar yang merupakan gerbang Indonesia Timur, tepatnya di sudut wilayah perumahan terbesar dan terpadat di kota Makassar Bumi Tamalanrea Permai yang berada tak jauh dari Perguruan Tinggi ternama Universitas Hasanuddin.

Di lokasi sempit berbatu cadas samping kuburan yang awalnya dikeramatkan sebagai tempat ritual sesembahan (saukang, Tempat mempesembahkan sesajen untuk makhluk gaib) oleh beberapa kelompok masyarakat adat di Makassar dan sekitarnya.

Di lokasi inilah pusat dakwah dan pesantren Hidayatullah pertama di Sulawesi Selatan didirikan. Tersebutlah beberapa nama pendiri dan perintis dakwah di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yaitu Dr Ir H Abdul Azis Qahar Mudzakar MSi, Ir H Abdul Majid MA, Drs H Ahkam Sumadiyana MA, Ir H Khairil Baits dan Dr Muhammad Tasyrif Amin MPd dan masih banyak tokoh lainnya yang saat ini (tahun 2023) semua sudah menginjak usia di atas 50 tahun.

Merekalah yang mengawali kiprah dakwah berbasis pondok pesantren dengan mendirikan Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar yang alumninya kini sudah menyebar di 32 kampus pesantren Hidayatullah di Sulawesi Selatan dan 17 kampus pesantren di Sulawesi Tenggara.

Kisah perjalanan mereka dalam mengaktualisasikan cinta di medan dakwah inilah yang menjadi pelajaran berharga bagi generasi pelanjut yang notabene dimotori oleh kalangan muda milenial.(bersambung/*)



BACA JUGA

SULSEL TODAY