Friday, 15 September 2023 | 06:25 Wita

Cintai Istri Sepenuh Hati Sebelum Berfikir Menikah Lagi, Menjaga Hati Bidadari (2)

Editor: Humas DPW Hidayatullah Sulsel
Share

Oleh : Ust H Dwi di Amanillah, Kadep Pendidikan dan Kepesantrenan DPW Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Allah SWT telah menjadikan kisah kehidupan keluarga Nabiyullah Ibrahim a.s yang diabadikan dalam Al Qur’an sebagai ibroh bagi ummat manusia. Mulai dari kisah pengasingan Sitti Hajar dan bayinya di lembah bakkah, hingga perintah penyembelihan putranya yakni Nabi Ismail .

Kisah-kisah tersebut memberi keteladanan tentang karakter keluarga yang dibangun di atas landasan tauhid ysng benar, sehingga melahirkan anak keturunan yang memilik aqidah yang kokoh, ketaatan yang total tanpa keraguan dan keikhlasan menerima segala ketetapan Allah.

Pondasi keimanan menjadi kunci kekokohan dan kebahagian dalam rumah tangga. Keyakinan Nabiyullah Ibrahim yang sangat kuat terhadap kekuasaan dan pertolongan Rabbnya (Allah SWT) dibuktikan saat beliau dihukum dibakar hidup-hidup oleh raja Namruz.

Jilatan api yang panas membakar tidak mampu menyentuh tubuhnya, bahkan di saat api tengah membakar justru beliau merasakan kedinginan.

Keyakinan kuat inilah yang kemudian tertanam dan terwariskan pada keluarga Ibrahim, pada istri-istri dan keturunannya. Saat beliau meninggalkan anak dan istrinya di lembah Bakkah yang tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.

Saat itu ada kesedihan yang mendalam ketika beliau membalikan badan meninggalkan anak dan istrinya sendirian di lembah yang sepi dan tandus.

Dengan air mata bercucuran beliau berdoa, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur (Ibrahim ayat 37)” .

Bagi seorang suami dan ayah yang telah sekian lama merindukan kehadiran buah hati pelanjut generasi meninggalkan anak dan istri di tempat yang sepi, gersang dan tandus bagi Nabi Ibrahim adalah ujian yang sangat berat.

Demikian pula bagi istri beliau Sitti Hajar, wanita mana sih yang kuat dan rela ditinggakan oleh suaminya sendirian bersama bayi mungilnya di lembah tandus ditengah padang pasir? .Namun karena itu adalah perintah dari Rabbnya Ia pun pasrah dan yakin Allah akan menjaga keduanya.

Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk membawa anak dan istrinya (Sitti Hajar) ke tempat yang jauh, berpisah untuk sementara waktu, dengan tujuan untuk meredam kecemburuan istri pertama beliau (Sarah) karena mereka tinggal bersama sehingga Sarah senantiasa cemburu melihat kebahagiaan Ibrahim dan Sitti Hajar.

Apalagi saat keduanya duduk bersama, bercengkrama sambil menimang bayi mungil mereka, sedangkan Sarah belum juga memdapatkan momongan setelah sekian lama bersama Ibrahim.

Sitti Hajar adalah budak yang dihadiahkan oleh Raja Mesir kepada keluarga Ibrahim. Menyaksikan kesholehan dan ketabahan Sitti Hajar, Sarah pun merasa sangat takjub dan kagum hingga Ia pun meminta Nabi Ibrahim untuk menikahi Hajar mengingat keduanya sudah semakin tua namun belum dikarunia anak.

Singkat cerita Ibrahim kemudian menikahi Sitti Hajar dan mereka hidup bahagia bertiga, bersama-sama dalam waktu yang cukup lama. Naluri kewanitaanya mulia terusik ketika Hajar mulai mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki.

Kecemburuan adalah fitrah seorang wanita yang kadang sangat sulit dipahami oleh laki-laki. Ketika seorang suami memberikan perhatian yang lebih kepada Ibunya, tak jarang sang istri merasa tersisih dan dinomorduakan, padahal suami melakukan itu demi baktinya kepada kedua orangtua terutama Ibunya yang telah mempertaruhkan nyawa, berjuang mati-matian, menjaga dan membesarkan serta memdidiknya dari kecil hingga dewasa.

Kisah romantisme keluarga Nabi Muhammad SAW bersama istri-istri beliau juga tak luput dari riak-riak kecil kecemburuan, seperti kisah kecemburuan Aisyah kepada Khadijah karena Nabi sering menyebut-nyebut namanya dan kecemburuan kepada Shafiyyah salah satu istri nabi dari keturunan yahudi yang terkenal karena kecantikannya.

Nabi sangat memahami kecemburuan di antara istri-istri beliau dan beliau bisa mengatasnya dengan adil, bijak dan penuh kelembutan.

Ketika seorang istri dituntut menjadi sebaik-baik perhiasan dunia, menjaga kehormatan diri dan keluarga, menyejukan pandangan suami, maka suami pun dituntut untuk menjaga hati, mengayominya, tidak menyakiti apalagi melukainya. Senantiasa bersikap dan berbuat baik serta berlemah lembut dengannya.

Dikisahkan suatu ketika Nabi bertandang ke rumah Aisyah, namun karena sudah larut malam Aisyah tertidur dan tidak mendengar salam dan suara ketukan pintu, maka Nabi pun bersabar rela tidur di depan pintu rumah Aisyah dan di kesempatan lain saat beliau lapar beliau bertanya “Adakah makanan yang tersedia?” jika tersedia beliau pun makan dan jika tidak ada beliau pun berpuasa.

“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik sikapnya terhadap keluarga. Dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR Ibnu Majah). Hadits ini dapat dimaknai bahwa sebaik-baik laki-laki adalah yang terbaik sikapnya terhadap istrinya.

Dan Nabi adalah laki-laki terbaik dalam memperlakukan istri-istrinya. Kalau pun ada istri yang cerewet, bawel, sering uring-uringan dan suka menentang, jangan langsung menuding mereka itu keturunan Mak Lampir atau titisan istri Nabi Nuh, mungkin mereka menjadi seperti itu karena suami yang kurang memberikan pendidikan dan perhatian.

Karena kaum wanita kurang akalnya maka harus bersabar untuk memberikan pemahaman, karena mereka tercipta dari tulang rusuk yang bengkok maka harus perlahan-lahan dalam meluruskanya, karena mereka seperti gelas-gelas kaca maka berhati-hatilah jangan sampai menjatuhkannya, karena mereka ibarat bunga mawar yang indah maka rawatlah dengan sunguh-sungguh agar terus mekar berkembang dan tak mudah layu.

Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Rumah ku adalah surgaku” Walaupun beliau tidak menyebut, “Istri-istriku adalah bidadari-bidadariku” namun rumah tangga Nabi adalah rumah tangga yang diberkahi, semua saling menyayangi, saling memberi salam, tak sedikit pun tersirat perasaan saling membenci sebagaimana kehidupan di surga. Padahal kehidupan rumah tangga nabi sangat sederhana bahkan kadang kekurangan.

Banyak kasus pertengkaran dalam keluarga yang dipicu oleh sikap suami yang terlalu cuek, tak peduli dan tak mau tahu perasaan istri. Menuntut istri kuat dan tabah seperti Hajar dan Khadijah, bisa tampil melayani bak bidadari yang tak pernah ngomel apalagi marah, tapi tidak memperlakukan mereka seperti bidadari.

Memperlakukan mereka sebagai bidadari bukan berarti memanjakan mereka dengan segala fasilitas yang serba mewah atau tunduk patuh diujung telunjuk mengikuti semua keinginannya.(*)



BACA JUGA