Monday, 11 September 2023 | 09:11 Wita

Cintai Istri Sepenuh Hati Sebelum Berfikir Menikah Lagi, Menjaga Hati Bidadari

Editor: Humas DPW Hidayatullah Sulsel
Share

Oleh : Dwi di Amanillah, Kadep Pendidikan dan Kepesantrenan DPW Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Di dunia ini mencari kawan yang mau diajak susah sulitnya bukan main, diantara ratusan kawan mau pun relasi belum tentu kita dapati walau seorang saja.

Kalau mencari yang mau diajak senang atau masuk ke zona nyaman pastilah mudah, semudah menggerakkan ujung jari.

Demikian pula mencari kawan setia atau “bestie” sekualitas Abu Bakar As-Shidiq atau Ali Bin Abi Thalib yang tanpa keraguan sedikit pun rela mengorbankan dirinya untuk keselamatan jiwa rasulullah Muhammad SAW, dan sanggup bertahan dengan kondisi yang serba sulit dan penuh ancaman.

Jika mencari kawan yang setia sangat sulit maka mencari pasangan hidup yang setia sehidup semati atau sehidup sesurga, jauh lebih sulit .

Menemukan lawan jenis yang mampu setia dan tabah mengayuh bahtera cinta dalam iman dan ketaatan adalah anugerah terindah bagi seorang manusia.

Salah satu kekuasaan dan kagungan Allah SWT, adalah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan. Sejak awal diciptakannya manusia pertama Adam, Allah pun tak membiarkan Adam kesepian di dalam surga hingga menciptakan dan menganugerahkan Sitti Hawa sebagai pasangannya.

Di dalam surga yang bertabur kenikmatan sekalipun jiwa kelaki-lakian Adam tetap merasakan kesepian, sehingga Allah kemudian menciptakan makhluk yang bernama wanita yang kita kenal sebagai Ibunda seluruh manusia yakni Siti Hawa.

Hawa ada untuk melengkapi kebahagian Adam dan bukan sekedar untuk menemani Adam di dalam surga.

Dalam episode selanjutnya ketika Allah menurunkan mereka dari surga ke alam dunia dan memisahkan keduanya sebagai bentuk hukuman. dua belahan jiwa yang sebelumnya menyatu dalam kebahagiaan dan ketaatan di dalam surga akhirnya harus merasakan kepayahan hidup di alam dunia dan harus terpisah sekian lama hingga Allah pertemukan kembali di jabal rahmah sebagai bentuk kasih sayang dan penganpunan Allah.

Cinta keduanya yang telah tumbuh subur di dalam surga kembali bersemi dan berbuah ranum. Sayangnya tak banyak referensi tentang romantisme kehidupan keduanya yang jelas cinta keduanya tak lekang, tak berkurang dan tak luruh walaupun di surga dijamu dengan berbagai kenikmatan.

Sedangkan di dunia di dera dengan segala kesulitan dan kepayahan dalam menjalankan amanah sebagai hamba dan khlaifah di dunia ini.

Justru dalam kepayahan menjelajah dunia, mengarungi samudera kehidupan dunia yang penuh ombak dan badai, bersama-sama merasakan suka duka, pahit dan getir kehidupan dunia semakin menambah ikatan cinta keduanya.

Wajarlah jika kelak manusia telah kembali ke surga maka dari puluhan bidadari yang Allah siapkan di dalamnya maka secantik-cantiknya dan seranum-ranumnya bidadari surga, maka yang lebih utama di antara mereka adalah pemimpin para bidadari yakni bidadari yang terlahir di dunia sebagai istri yang sholehah.

Mereka itulah istri-istri para penghuni surga yang telah menjadi bidadari sejak di dunia, mereka itu bidadari dunia akhirat.

Penggalan kisah kedalaman cinta Nabi kepada Khadijah yang memicu kecemburuan Aisyah adalah bukti bahwa derajat kecintaan sangat ditentukan oleh derajat pengorbanan pasamgan hidup.

Semakin tinggi nilai pengorbanannya akan semakin tinggi juga derajat kecintaannnya. Dari seorang bangsawan terpandang dan kaya raya, diakhir kehidupan dunianya untuk mendapatkan selembar kafan untuk membungkus jasadnya pun cukup kesulitan.

Seluruh harta dan jiwanya telah totalitas dihibahkan untuk perjuangan dakwah menegakkan kalimat Allah di muka bumi. Inilah yang membuat sosok Khadijah tetap bertahta di hati Nabi, walaupun telah hadir sosok-sosok wanita pendamping Nabi.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, “Kalau Nabi sangat cinta kepada Khadijah mengapa beliau menikah lagi dengan sekian banyak wanita, setelah Khadijah wafat, bahkan setelah menikah dengan Aisyah yang masih gadis belia pun masih menikahi wanita-wanita lainnya hingga yang terakhir adalah Maimunah Binti Harits?”

Kenyataannya beliau mencintai semua istri-istrinya sepenuh hati, bukan separuh hati atau seperempat hati.(bersambung)



BACA JUGA