Monday, 2 January 2023 | 09:30 Wita

Menyemai Kader Peradaban di Bumi Panrita Lopi, Menggapai Mardhatillah (1)

Editor: Humas DPW Hidayatullah Sulsel
Share

Oleh : Dwi Fii Amanillah, Kadep Tarbiyah dan Kepesantrenan DPW Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Siang itu di dalam mobil angkot jurusan Bulikumba kota – Kajang yang cukup padat penumpangnya, terdengar obrolan kecil dari penumpang yang duduk di deretan kursi bagian depan membahas tentang jauhnya tempat tugas mereka sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Seorang wanita di antara mereka berujar, “Kita jauh-jauh dari kampung halaman rela ditugaskan di mana saja dan dengan berat hati terpaksa bertahan karena urusan gaji dan mencari uang. Begitu kan Pak ?”

Ia menoleh mengarahkan pandangan kepada ku yang duduk di sampingnya. Rupanya pertanyaan itu ditujukan kepadaku. Dengan sedikit tertegun Aku pun menjawab, “Tidak semua juga begitu Bu ! Manusia itu akan bergerak sesuai orientasi dan tujuan hidupnya. Ada yang semata-mata mengejar dunia ada pula yang menjadikan dunia hanya sekadar wasilah untuk untuk meraih kebaikan akhiratnya.”

Mendengar jawaban yang nuansanya beda dengan keinginanya itu, si Ibu pun terdiam dan tidak melanjutkan obrolannya.

Membahas tentang orientasi hidup akan beririsan dan bersentuhan langsung dalam kehidupan kita. Orientasi hidup seseorang bisa berubah atau mengalami pergeseran sesuai dengan situasi yang mempengaruhi pemikiran, pemahaman dan pemaknaannya tentang kehidupan itu sendiri.

Hal ini telah disampaikan oleh Rasulullah SAW, dari Zaid bin Tsabit RA, ia mendengar, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa tujuan hidupnya adalah dunia maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barang siapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.” (HR Ahmad).

Masih banyak di dunia ini manusia-manusia yang tetap komitmen menjaga orientasi hidupnya sesuai fitrah penciptaannya yakni menjadikan dunia ini sebagai tempat dan wasilah ubudiyah (peribadatan) kepada Allah SWT sebagai wujud kecintaan hamba kepada penciptanya.

Mereka adalah orang orang yang rela meninggalkan kampung halaman, meninggalkan iming-iming jabatan dan kedudukan serta profesi yang menjanjikan kemapanan finansial. Mereka ditugaskan jauh dari kampung halaman bukan karena urusan ngejar pangkat dan gaji tapi kerena panggilah hati untuk berkhidmat kepada ummat menjadi Dai yang menggajak manusia kembali kepada Allah SWT.

Dai adalah profesi utamanya, profesi lainnya tetap mereka jalani namun semua terbingkai dengan orientasi dan tujuan untuk Li i’laai Kalimatillaahi (meninggikan kalimat Allah) dan menggapai mardhatillah (keridhaan Allah). Semangat pengabdiannya tidak pernah padam walaupun gaji mereka kecil dan hidup dalam kondisi serba terbatas.

Merintis pesantren menjadi misi para kader yang dididik dan bergabung di lembaga perjuangan Hidayatullah. Tidak sah rasanya jika seorang kader pejuang Islam tidak merasakan indahnya romantika perintisan, berjibaku di medan dakwah berusaha mandiri dengan tantangan hidup yang serba kekurangan dari sisi materi bahkan tak jarang harus tinggal di daerah terpencil dan terisolasi tanpa listrik maupun air yang memadai.

Berat, susah tapi semua bisa dijalani dengan hati yang merdeka. Hati yang senantiasa dekat dengan Tuhannya, hati yang bersih tidak kerasukan atau dirusakkan oleh nafsu duniawi, hati yang betul-betul murni memancarkan berkah Ilahi. Inilah nikmat yang selalu bertambah ketika terus dibagi.(*/bersambung)



BACA JUGA