Friday, 7 April 2023 | 13:48 Wita

Lunturnya Amal Kebajikan

Editor: Humas DPW Hidayatullah Sulsel
Share

Oleh : Bachtiar Aras, Trainer Life Revolution

HidayatullahSulsel.com — Tersebutlah seorang calon karyawan diwawancarai tentang motivasi dan niat ia melamar kerja. Boleh jadi ketika ditanya saat itu, ia bisa lolos dengan memberikan jawaban yang lancar dan masuk akal disertai argumentasi yang bagus.

Boleh saja ia menjawab ingin mengaktualisasikan dirinya di tempat ia bekerja kelak. Namun lama kelamaan, suatu saat akan terlihat niatnya bekerja. Kalau memang niatnya sesuai dengan hati nuraninya, ia akan enjoy di pekerjaan itu.

Namun tak dapat dipungkiri, di dunia kerja, seseorang akan terefleksi niatnya dari apa yang dilakukannya dibanding apa yang diucapkan. Kepiawaian lisan seseorang dalam menyusun kata-kata apalagi berniat berdusta, kelak akan berbalas dengan prilaku sehari-harinya di tempat kerja.

Artinya, apa yang diniatkan ketika diterima di sebuah perusahaan akan terlihat dalam perilakunya sehari-hari di tempat kerja. Perilaku lebih jujur dibanding sekedar untaian kata-kata.

Kita boleh terpukau dengan kelihaian lisan seseorang tapi kita akan sangat merasa kesulitan untuk mengetahui isi hatinya. Boleh saja ada orang yang di kala ia belum menduduki jabatan, ia dengan berapi-api menunjukkan kebolehannya membius khalayak dengan sekian macam iming-iming.

Tetapi di saat ia menduduki jabatan tersebut, malah jauh bertolak belakang dengan apa yang ia ucapkan sebelumnya. Yang tadinya ia menentang korupsi. Setelah menduduki jabatan penting, malah korupsinya lebih hebat dari pejabat sebelumnya.

Di sinilah perlunya selalu menjaga niat. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan itu sesuai niatnya, dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya”.

Bila niat seseorang tertuju pada dunia, ia akan memperoleh sesuai apa yang ia niatkan. Setiap hasrat untuk memiliki bagian dari dunia yang dianggap membahagiakan, ia pun akan meraih apa yang ia niatkan.

Dalam hal ini fungsi hati sebagai ‘generator’ yang bekerja melalui isyarat-isyarat dalam jiwa. Isyarat-isyarat ini ada kemungkinan mengendalikan hati dengan segala gerakannya semata bagi Allah, namun adakalanya juga bisa mengendalikan hati dan segala gerakannya bagi selain Allah swt.

Bagi seorang muslim, ikhlas adalah sesuatu yang paling prioritas. Segala sesuatu yang berarti bisa tidak memiliki arti tanpanya. Segala kebajikan bisa menjadi sirna bila tidak dibarengi dengan keikhlasan. Amal kebajikan sebesar gunung bisa menjadi debu-debu berserakan yang tidak memiliki arti tanpa keikhlasan. Karena ikhlas adalah pangkal dari segalanya.

Rangkaian-rangkaian ibadah dalam rukun Islam, mulai syahadat hingga haji, semua dituntut adanya keikhlasan. Karena keihklasan adalah penentu diterimanya amalan-amalan yang dilakukan.

Dalam shalat saja, Allah swt mengecam orang yang riya’ dalam shalatnya. Walaupun misalnya kita shalat tarawih hingga tiga puluh rakaat, kalau motivasi selain kepada Allah, maka esensi shalat tidak akan diperoleh bahkan dikategorikan sebagai orang yang celaka sebagaimana firman-Nya, “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’.

Begitu halnya dengan puasa. Di kala keikhlasan itu ditinggal, maka puasa yang dilakukan sama sekali tidak memiliki power. Sabda Rasulullah Saw, “Berapa banyak orang yang berpuasa, hasil yang diperoleh dari puasanya hanya rasa lapar dan haus saja”.

Dalam hal zakat, infak dan shadaqah, Allah swt melarang keras menyebut-nyebut sedekahnya itu. Dengan kata lain, ada semacam perasaan ingin dipuji atau riya’ sehingga mengungkit-ungkit pemberiannya.

Allah swt berfirman, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan penerima, seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian….” (QS Al Baqarah 264)

Riya’ adalah penyakit yang sangat berbahaya sampai-sampai Rasulullah sangat cemas melihat umatnya yang terkena penyakit ini.

Syaddad bin Aus ra, seorang sahabat Rasulullah saw, suatu ketika melihat rona pada wajah nabi. Dalam keadaan penasaran ia bertanya, “Wahai Rasulullah, demi ayah ibuku, kulihat ada kelainan di wajahmu?”

“Aku cemas, umatku terkena syirik”.

“Adakah umatmu akan menjadi musyrik sepeninggalmu yaa Rasulullah?”

“Wahai Syaddad, memang mereka tidak menyembah matahari, tidak menjadi kaum paganis, tidak juga menyembah batu. Namun mereka beramal karena ingin meraih pujian manusia”

Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Khuluq Al Muslim membagi lima golongan riya’. Pertama, riya’ dalam soal tauhid. Seolah-olah memperlihatkan iman yang benar, tapi I’tikad tidak demikian. Inilah yang diistilahkan dengan munafik.

Kedua, riya’ dalam melaksanakan amal ibadah. Ketiga, riya’ dalam amalan sunnah. Di muka orang banyak, ia bersungguh-sungguh berdzikir, shalat tarawih, tapi bila tidak ada orang, sunnah-sunnah itu tidak dikerjakan lagi. Keempat, riya’ karena menyebut amal-amal kebajikan.

Dan yang terakhir, riya’ dalam sikap dan kesungguhan dalam beribadah. Seolah-olah menampakkan kekhusyukan dalam shalat, merendahkan dan melemahkan suara agar kelihatan alim dan shaleh.

Penyakit riya’ ini akan menghilangkan kebaikan dan pahala. Biasanya, riya’ ini dikerjakan oleh orang berjiwa lemah dan berakal kurang.

Akhirnya kita berupaya untuk menanamkan keikhlasan dalam jiwa kita dengan tidak akan mencampuri semua amal dengan harapan-harapan yang bersifat duniawi. kita senantiasa membersihkan hati dari segala kotoran – sedikit ataupun banyak – sehingga tujuan dari taqarrub benar-benar murni karena Allah Swt, bukan yang lain.

Hal ini hanya akan datang jika kita mencintai Allah dan menggantungkan seluruh harapan hanya kepada-Nya. Semoga pada bulan ramadhan ini, kita memupuk keikhlasan dalam diri kita perlahan-lahan.(*)



BACA JUGA