Wednesday, 7 February 2024 | 08:50 Wita

Hikmah di Balik Turunnya Wahyu Pertama

Editor: admin
Share

Oleh : Bachtiar Aras, Dai Hidayatullah Sulawesi Selatan

HidayatullahSulsel.com — Salah satu keistimewaan bulan Ramadhan dibanding bulan-bulan yang lainnya yaitu pada bulan suci ini awal mula turunnya wahyu (al-quran) kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Suatu momentum sejarah yang tak pernah dilupakan oleh umat Islam.

Pada saat Rasulullah menerima wahyu pertama di Gua Hira (Jabal Nur). Sesuai dengan firman Allah: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang batil.” (QS. Al-Baqarah : 185)

Tak diragukan lagi, al-qur’an pertama kali diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa Taala di bulan Ramadhan. Adapun mengenai waktunya, ulama berbeda pendapa seperti misalnya seorang ulama ahli tafsir Abul Qosim Muhammad bin Ahmad Al-Kalbi, dalam kitab tafsirnya At-Tashil Li Ulumi At-Tanzil, menyebutkan paling tidak, ada 16 pendapat ulama tentang waktu turunnya al-quran.

Namun yang paling khusus yang dijadikan hujjah ada 2 pendapat yaitu, pendapat pertama menyatakan bahwa al quran pertama kali diturunkan pada malam ke 17 Ramadhan dengan dalil : “Dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Maha kuasa atas segala sesuatu” (QS. Al-Anfal: 41)

Yang dimaksud hari Furqon adalah hari terjadinya perang Badr, yaitu pagi 17 Ramadhan 2 H. Sehingga berdasarkan ayat ini, al-quran pertama kali diturunkan di malam 17 Ramadhan.

Pendapat kedua menyatakan bahwa pertama kali al-quran diturunkan di salah satu malam sepuluh hari terakhir Ramadhan. Karena pada malam-malam itulah Lailatul Qadar berada. Dalilnya adalah surat Al-Qadr : “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam qadar… (QS. Al-Qadr: 1).

Penulis lebih cenderung kepada pendapat yang kedua ini. Namun satu hal yang perlu diperhatikan bahwasanya kita tak perlu terlalu mempermasalahkan hal itu. Yang terpenting dan utama adalah bagaimana kita selaku kaum muslimin dan muslimat dapat memetik hikmah dan pelajaran dari peristiwa turunnya al-quran ini.

Peristiwa turunnya al-quran terjadi pada saat Rasulullah berumur 40 tahun di tengah-tengah masyarakat jahiliyah (bodoh). Masyarakat jahiliyah di sini tidak diartikansebagai masyarakat yang tidak pandai atau tidak mengetahui ilmu pengetahuan, ekonomi dan lain-lain.

Malah kalau dilihat ternyata sebagian besar orang Arab pada saat itu terkenal dengan kecerdasan otak dan linguistik (sastra) serta kelihaian dalam perdagangan perdagangan (lihat surah Quraisy). Namun yang dimaksud jahiliyah itu adalah walaupun mereka cerdas intelligence-nya tapi karena tidak mengenal Tuhan yang sebenarnya bahkan mereka menjadikan berhala yang mereka buat sendiri sebagai tuhan alias sesembahannya.

Karena mengingkari keyakinan adanya Allah itulah yang menyebabkan mereka melakukan kemaksiatan mulai dari perzinaan, berfoya-foya, mabuk-mabukan sampai pada tingkat seringnya mereka perang antara suku dan golongan.

Semua perilaku bejat dan amoral ini menjadi kesukaan dan kebanggaan mereka hampir di seluruh kalangan masyarakat Arab. Di sinilah letak kejahiliahan mereka.

Di tengah kondisi dan situasi seperti itu. Allah mengirimkan seorang Rasul yang akan menjadi pendobrak sendi-sendi budaya dekaden bangsa Arab. Allah sebutkan dalam al-qur’an : “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah Shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai saksi”. (QS.Fath : 28)

Itulah Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Dengan kepribadian “Al-Amin”, beliau dikenal memiliki hati nurani yang suci. Dengan kesucian hati dan keluhuran akhlaqnya, beliau terpanggil untuk mengubah gelombang kenistaan yang melanda manusia di sekitarnya, tentunya atas bantuan dan pertolongan Allah.

Namun beliau mengakui kelemahannya sebagai manusia biasa sehingga tiada tempat untuk meminta pertolongan untuk mengubah kondisi ini kecuali kepada Yang Maha Pencipta. Pemilik hidup dan mati. Penguasa di atas yang kuasa, Dialah Allah, Rabb semesta alam.

Untuk lebih memenangkan pikirannya, sementara rasa tanggung jawab untuk adanya perubahan situasi semakin meledak-ledak, akhirnya Rasullullah berangkat mencari tempat pengasingan, mencari tempat untuk menyendiri. Dan tempat yang dituju terletak di sebuah bukit yang disebut Jabal Nur di mana ada sebuah gua yang dikenal dengan Gua Hira.

Di sinilah Rasulullah dengan segala unek-unek yang berkecamuk dalam jiwa. Ia banyak merenungkan nasib masyarakat sekitarnya dengan melakukan meditasi di tempat yang dikenal angker dan penuh binatang buas ini.

Di tempat inilah Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya sekaligus menawarkan solusi kepada Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam, dengan menurunkan wahyu yang pertama kali lewat malaikat Jibril.

Peristiwa bergua Hira, yang dilakukan oleh Rasulullah dapat dijadikan pelajaran bahwa betapa beliau dengan segala keseriusannya siap berkorban mengalahkan ambisi dan interest pribadinya untuk bersusah payah mendaki tempat tinggi dan berlama-lama di dalam gua yang belum pernah dikunjungi oleh siapapun.

Padahal kalau dipikir, bukankah Muhammad pada saat itu telah mendapatkan kepercayaan penuh dari masyarakat dengan gelar Al-Aminnya? Apalagi peluang untuk menjadi penguasa tertinggi tanah Arab terbuka lebar.

Beliau juga sudah mempunyai seorang istri yang kaya dan setia. Kenapa semua itu ia tinggalkan? Hampir lima tahun lamanya Nabi mondar-mandir antara rumah dengan Gua Hira. Walaupun perjalanan menuju ke sana mengundang bahaya yang tidak sedikit, harus melewati padang sahara yang gersang dan tandus bermil-mil jauhnya.

Walaupun harus mendaki tebing yang tajam dan terjal dengan bekal makanan yang sangat minim.
Semua ini didorong oleh gelombang idealisme yang berkecamuk dalam petala jiwa, ia tetap melakukan perjalanan itu sebagai bukti bahwa ia telah berjuang dengan segala kesungguhannya untuk bertemu dengan Tuhannya.

Beliau buktikan keseriusannya itu dengan pengorbanan habis-habisan dengan meninggalkan segala kemewahan hidup, kemuliaan derajat, dengan meninggalkan anak dan istri tercinta.

***

Kita sudah mafhum, di dalam perjuangan mesti ada yang dikorbankan. Apa yang paling utama harus dikorbankan? Nafsu dan interest melekat pada jiwa setiap insan itulah yang harus dikorbankan karena ia merupakan tembok penghalang masuknya wahyu ke dalam hati sanubari setiap manusia.

Dengan perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan oleh Rasulullah dengan jalan berkhalwat, menyendiri dalam keheningan di Gua Hira. Di dalam gua itu beliau bersembah sujud, mengasah hati, menjernihkan jiwa dan pikiran, mendekatkan diri pada kebenaran dan menjauhkan diri dari kebatilan dengan seluruh kemampuan dan kesungguhannya.

Dalam suasana keheningan di suatu malam di bulan Ramadan, di sanalah Allah berkenan menurunkan wahyu-Nya untuk pertama kalinya kepada hamba-Nya tercinta.

Dikisahkan bahwa Rasulullah didatangi malaikat Jibril alaihissalam dengan membawa surah al-alaq ayat 1-5 sambil menuntun membaca, Iqra (bacalah) hai Muhammad”.
Dengan rasa terkejut dan gemetar, Nabi menjawab kepada Jibril alaihissalam, “Maa anaa biqoori “(saya tidak bisa membaca).

Akhirnya malaikat Jibril memeluk erat nabi Shallallahu alaihi wasallam dan melanjutkan, Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS Al-Alaq: 1-5).

Suatu pertanyaan yang mungkin menggelitik para pembaca. Bukankah ini adalah urusan Tuhan, manusia tidak bisa ikut campur tangan dalam wahyu mana yang harus pertama turun.

Kita tak tahu secara pasti, Tapi apa gunanya Allah melengkapi kita dengan instrumen akal kalau bukan untuk menyingkap rahasia ayat-ayat-Nya, baik yang tertulis qauliyah maupun yang tidak tertulis kauniyah.

Paling tidak kita ingin tahu latar belakang turunnya surat tersebut sehingga dari situ kita bisa menangkap pelajaran di balik diturunkannya Al-Alaq 1-5.

Jelas kita lihat pada lima ayat surat Al-Alaq berisi jawaban atas rintihan dan harapan dari Rasulullah. Boleh dikata, sangat pas betul Al-‘Alaq diinformasikan bagi atmosfer kejahiliyahan di tanah Arab, yang mayoritas diliputi kegelisahan dan kegoncangan jiwa itu.

Ibaratnya, di saat orang-orang dilanda kehausan yang teramat sangat, tiba-tiba datang seorang yang merasa bertanggung jawab ingin membantu mencarikan air minum sebagai pelega tenggorokan. Kemudian sang penolong ini berhasil menemukan air buat mereka.

Tentu luapan kegembiraan yang muncul dari orang-orang tadi dan berusaha meraih air minum tersebut..
Begitulah, Al-Alaq 1 – 5 turun sebagai air yang siap menjadi penawar dahaga.

Ia datang untuk menawarkan solusi kepada umat manusia.
Kalau kita mengkaji kelima ayat dalam surah tersebut maka kita menemukan 3 inti ajaran.

Ketiga inti global ini pasti ditemukan di setiap ayat dalam Al quran, yaitu menjelaskan adanya Tuhan (Rabb) Pencipta, Pemurah dan keberadaan dan seluk-beluk manusia (insan), sifat-sifat lainnya, membahas tentang alam beserta perangkat-perangkatnya.

Hal tersebut tergambar jelas pada ayat pertama, Iqra’bismirabbikalladzi khalaq adalah satu instruksi buat manusia agar memperhatikan dan mengambilkan bahan perenungan tentang keberadaan alam dan siapa yang mengadakannya.

Alam yang penuh keindahan. kerapian dan keteraturan. Matahari begitu perkasa memancarkan sinarnya ke seluruh penjuru alam, taburan bintang di malam hari yang begitu indah, dataran bumi, deretan gunung, hamparan laut adalah gambaran kesempurnaan yang tiada taranya.

Lalu kita bertanya siapa di balik itu semua yang menjadi sutradara? Apakah seorang insinyur arsitektur atau pemborong bangunan yang sudah kuliah sekian tahun di luar negeri? Ternyata bukan.
Ada yang lebih hebat dari itu yang telah menciptakan gugusan bintang, bumi, bulan dan matahari. Dialah Allah Sang Khaliq.

Tak dapat dibayangkan betapa hebatnya gagah dan indahnya Ia. Betapa perkasanya Ia kalau ciptaan-Nya saja seperti itu sungguh.. mengagumkan. Dengan memanfaatkan potensi zikir dan pikir untuk merenungi ayat-ayat-Nya akan melahirkan sikap mental tawadhu’ di dalam mengarungi hidup ini.(*)



BACA JUGA