Saturday, 16 September 2023 | 10:30 Wita

Menjaga Stabilitas Ruhani di Arena Politik (1)

Editor: Humas DPW Hidayatullah Sulsel
Share

Oleh Bachtiar Aras, Aktivis Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Rakyat Indonesia kini bersiap menyambut pesta demokrasi serentak pada tahun 2024. Akan ada dua gelaran pemilihan untuk memilih calon pemimpin dari tingkat pusat hingga daerah, yaitu Pemilihan Umum (pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (pilkada), terkhusus lagi Pemilihan Presiden (pilpres).

Setiap calon yang akan maju tentunya mempersiapkan segala sesuatunya sebelum bertarung di arena politik tersebut. Tidak tanggung tanggung, ada yang sudah mempersiapkan amunisi yang membutuhkan biaya tidak sedikit.

Di negara kita yang mayoritas muslim ini, peluang bagi saudara saudara Muslim dan Muslimat terbuka lebar untuk ikut dalam kontestasi perpolitikan di tahun 2024. Tidak ketinggalan, beberapa sahabat penulis yang mencalonkan diri, untuk ikut bertarung di pentas politik.

Penulis bahkan pernah menyampaikan kepada mereka bahwa kalau sebagian besar calon yang memang memiliki banyak uang, wajar jika persiapan amunisinya juga dominan dengan uang. Lalu bagaimana dengan orang yang memiliki idealisme tinggi untuk melakukan perubahan namun tidak ada atau minim bekal harta?

Nah, inilah yang melatari sehingga penulis mengangkat tulisan ini ke permukaan. Bisa dibayangkan, kalau seorang sahabat penulis yang “menjajaki takdir” ikut kontestasi pileg tahun depan, dengan visi yang luar biasa dengan mengutip sabda Nabi SAW, “Sebaik-baik manusia yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain”.

Ia maju dengan persiapan bekal materi yang sangat minim, tapi self confidence-nya sangat tinggi.
Penulis salut dengan semangat dan motivasi sahabat untuk ikut bertarung. Dan semua saudara kita apalagi muslim, sah-sah saja bahkan wajib berpartisipasi memberikan manfaat kepada manusia lainnya.

Yang paling penting adalah kemampuan sahabat-sahabat untuk menjaga stabilitas ruhiyah selama sebelum, sedang dan setelah kontestasi tersebut.

Pertanyaan selanjutnya, adakah kaitan antara gemuruh pertarungan politik dan kondisi batin atau ruhiyah kita ? Tentu ada.

Seorang Muslim, sudah sepatutnya menjadi orang yang senantiasa mengaitkan siklus kehidupannya dengan masalah ruhani dan batinnya. Begitulah Rasulullah saw dan para sahabatnya mengajarkan kita.

Dalam detik perjuangan yang maha genting pun, Rasulullah dan balatentaranya tetap memelihara penunaian sholat wajib. Dan dalam jenak waktu yang penuh ancaman dan marabahaya, Rasulullah saw mencari kesempatan menengadahkan tangannya ke langit, meminta bantuan dan pertolongan Allah SWT. “Ya Allah, andai Engkau hancurkan sisa-sisa (kaum Muslimin), maka Engkau tidak akan disembah lagi selamanya.”

Begitu cara Rasulullah SAW mengiba dan meminta dukungan Allah menjelang pertarungan di medan Badar.

Ruhani, jiwa atau hati, harus selalu hidup. Dan langkah-langkah untuk menghidupinya, adalah dengan tetap menjaga dan berpegang kuat terhadap ‘tali’ Allah.

Cara untuk tetap menyinarinya, adalah dengan selalu menyalakan hati dengan cahaya dzikrullah. Mengingat amanah hidup, mencamkan tanggung jawab yang diberikan Allah swt, Pemberi nikmat yang tak bisa dihitung.

Faktor-faktor yang bernuansa ruhani, kebersihan jiwa, cahaya dalam hati, adalah kendali dan syarat hidup matinya jasad lahir setiap orang. Faktor-faktor ruhaniyah juga yang menjadi timbangan kebahagiaan, ketenangan, ketentraman seseorang dalam mengarungi hidup. Bukan faktor materi.

Dalam sabda Rasulullah yang terkenal, hati disebutkan menjadi titik penilaian baik tidaknya sikap seseorang. Baiknya hati menjadi indikator kebaikan sikap lahir seseorang. Begitupun sebaliknya. Lihatlah nasihat panjang Rasulullah yang disebutkan Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu anhu, “Fitnah itu diperlihatkan pada hati manusia laksana menggelar tikar. Tampak seutas demi seutas anyamannya.

Setiap hati yang terkena fitnah pasti ternoda jelaga hitam, dan bagi hati yang melawannya maka ia akan diberi noktah putih. Sehingga dengan begitu hati manusia terpilah jadi dua bagian. Bagian yang berwarna hitam lebam dan berdebu bagaikan teko yang dibalik. Tidak dapat membedakan antara hak dan batil, karena ia telah terbawa hembusan hawa nafsunya. Dan (kedua) hati yang berwarna putih, tidak akan terkena bahaya fitnah selama masih ada langit dan bumi.” (HR. Muslim).

Dalam hadits ini, Rasulullah membagi hati manusia menjadi dua berdasarkan pengaruh fitnah yang menimpanya. Pertama, hati yang ketika bersentuhan dengan fitnah langsung menyerapnya, seperti tanah kering menyerap air.

Hati seperti inilah yang disebut seperti jelaga hitam. Dan begitulah rotasinya, setiap ada fitnah ia selalu aktif menyerapnya hingga akhirnya makin memekatkan dirinya dalam jelaga yang semakin hitam legam.

Kondisi hati seperti ini, akan memunculkan dua sikap. Pertama, kesamaran antara hak dengan batil. Tidak mampu melihat jelas sebuah kebatilan, atau justru memandang kebatilan sebagai kebenaran.

Kedua, orang yang memiliki hati seperti itu akan menjadi budak hawa nafsunya. Dengan kata lain, ia akan mengikuti kemana saja hawa nafsu menginginkannya.

Hati yang kedua, adalah hati yang putih bersih. Hati yang terpancar dari benderangnya cahaya iman. Hati seperti ini bukan tidak menghadapi fitnah. Fitnah yang dihadapinya sama persis dengan fitnah yang dihadapi oleh hati yang menjadi hitam legam tadi.

Bedanya, hati yang putih bersih ini akan sesegera mungkin berpaling, menghindar dan menjauhi fitnah hingga cahayanya makin terang benderang. Atau, setidaknya, mungkin saja hati itu ternoda terpaan fitnah yang menimpanya terus menerus. Tapi noda itu lalu dibersihkan lagi dengan kesadaran dan kembali pada kebenaran.

Inti dari sebuah perjuangan da’wah lewat jalur politik adalah melakukan perubahan pada sesuatu yang lebih baik. Semua perubahan ini tentu akan berarti jika didukung kekuatan ruhiyah yang kuat.

Salah satu keunikan Islam dalam melihat suatu hal adalah syumuliyah (komprehensif). Pada satu sisi, ada ajaran yang memandang kekuatan dan kelemahan segalanya ada pada quwwahmaddiyah/jasadiyah (kekuatan fisik/material) semata.

Di sisi lain, sebagian ajaran melihatnya hanya pada quwwah bathiniyyah (kekuatan batin). Penglihatan ini adalah penglihatan yang parsial.

Islam menilai bahwa kekuatan itu ada pada dua sisi. Sisi batin yang dengannya seseorang akan termotivasi untuk mendayakan kekuatan fisiknya secara maksimal. Kekuatan batin bersumber dari kekuatan ruhiyah yang dimiliki seseorang.

Sehingga sangat wajar jika Rasulullah saw kemudian bersabda, “Perumpamaan orang yang berdzikir pada Allah dengan yang tidak berdzikir seperti orang hidup dan orang mati.” Kemampuan dzikir tidak lain merupakan refleksi kehidupan jiwa, dan kehidupan jiwa itu sendiri bertumpu pada kemampuan dalam berdzikir. (bersambung)



BACA JUGA