Thursday, 11 January 2024 | 16:10 Wita

Pendidikan Berdimensi Dunia Akhirat

Editor: admin
Share

Oleh: Bachtiar Aras SSos.I, Dai Hidayatullah di Sulsel

HidayatullahSulsel.com — “…Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengerti dengan orang-orang yang tidak mengerti?’…” (QS. Az-Zumar : 9)

Mengerti dan tidak mengerti merupakan titik pembeda, sebagai hasil dari proses pendidikan. Memang cakupan ‘mengerti’ dalam ayat ini sangat luas, bukan hanya berdimensi akal pikiran. Mengerti ini menyangkut pemahaman, juga kesadaran nurani. Bedakan dengan ‘mengetahui’ yang berdimensi jasadi (melihat, menyaksikan, mendengar dsb.)

Pada dimensi ini, maka pendidikan yang dibutuhkan oleh setiap generasi mencakup wilayah yang sangat luas. Bahkan pada dasarnya seluruh hiruk-pikuk kehidupan ini merupakan sarana pendidikan juga.

Tetapi tentu saja tidak semua orang bisa belajar dari lingkungannya. Dan lebih sedikit lagi yang bisa mengandalkan kemampuannya untuk mengambil pelajaran guna membekali hidupnya.

Diperlukan dasar-dasar kemampuan pribadi untuk bisa melakukan analisa, perhitungan, kalkulasi, prediksi dan sejenisnya. Lalu juga dibutuhkan kemampuan tambahan untuk mempergunakan hati nuraninya dalam pengambilan keputusan.

Islam memang menekankan begitu tegas, bahwa ilmu sangatlah penting. Menuntut ilmu dinilai lebih tinggi ketimbang menghabiskan semalaman untuk beribadah. Mereka yang mati di jalan menuju ilmu, bisa dikategorikan mati syahid.

Mereka yang berilmu juga ditinggikan beberapa derajat bersama orang-orang yang beriman.

Tentang perlunya bekal hidup di dunia berupa ilmu untuk mencapai kehidupan akhirat, mungkin kita sudah tidak mempersoalkan lagi. Sekarang yang kita hadapi adalah kenyataan, bahwa tidak semua lembaga ilmu memberikan bekal itu kepada anak-anak kita.

Kenyataannya, kita lebih sering harus memberikan kepada mereka bekal setengah-setengah. Artinya, dimensi bekal itu sendiri tidak bisa menyeluruh. Mungkin terlalu bernilai serba akhirat, terlepas dari dunia.

Hasilnya, anak didik tidak siap bersaing dalam gerak cepat dan gelombang keduniaan. Mereka tersingkir dari perputaran yang semakin cepat. Artinya peran mereka sangat kecil, karena aktivitasnya hanya meliputi lingkungan yang sangat sederhana.

Mereka tidak ada pun, tidak berpengaruh apa-apa terhadap masyarakatnya, apalagi terhadap stabilitas negara dan dunia.

Sebaliknya ada bekal yang terlalu mengagung-agungkan dunia. Seakan manusia hanya akan hidup sekali ini saja, sehingga surga dan neraka juga harus bisa disaksikan dan dirasakan saat masih hidup di dunia. Dengan bekal sedemikian, banyak diantaranya yang berhasil meraih sukses.

Kekayaan, kekuasaan, kemewahan, mereka nikmati tanpa beban apa-apa. Gaya hidup yang serba bebas dan glamour merupakan bumbu kehidupan keseharian mereka. Senyum, tawa, dan bau parfum mereka merebak ke mana-mana.

Tetapi karena salah didik, mereka lupa selain urusan dunia. Surga yang telah mereka minta semasa hidup, tidak akan lagi mereka dapatkan setelah mati. Berapa kerugiannya? Ibarat tidur setengah jam di sore hari kemudian terbangun dan gelisah ketakutan sampai pagi dan diteruskan sampai malam berikutnya.

Bekal yang berdimensi dunia akhirat ini, kalau memang tidak bisa didapatkan di sekolah, maka tetap menjadi tanggung jawab orang tua untuk memberikannya. Sebisa mungkin, orang tua harus mencarikan sekolah yang ideal, atau setidaknya paling ideal dari yang tidak ideal.

Tapi bila itupun ternyata masih kurang, orang tua wajib melengkapinya. Karena untuk memperoleh pendidikan, perlu adanya sinergi dan keterpaduan antara di rumah, sekolah dan masyarakat sehingga sekolah dalam hal ini bukanlah satu-satunya tempat anak didik untuk memperoleh bekal yang dimaksud.

Lalu bagaimana sikap kita terhadap pendidikan anak? Tentunya orang tua yang bijak tidak akan pernah memicingkan mata terhadap wadah pendidikan yang disebut sekolah. Karena bagaimana pun juga, sekolah untuk anak-anak kita sangat diperlukan.

Di sekolah mereka bisa belajar banyak, bagaimana bersosialisasi. Bila mereka hanya dididik semata-mata di rumah sendiri, maka mereka tidak sempat merasakan sakitnya diejek teman-temannya, tidak pernah didorong masuk kolam, tidak juga mengerti bahwa temannya bisa menangis bila pensilnya direbut.

Akhirnya tidak lengkap juga didikan yang mereka peroleh jadinya.

Yang penting kita bisa mengantisipasi kekurangan-kekurangan tempat mendidik anak-anak kita. Berikan tambahan bila kurang, lengkapi bila masih pincang. Kita wajib sadar, bahwa mendapatkan pendidikan yang memadai merupakan hak bagi anak-anak.

Kondisi orang tua tidak boleh menjadi alasan bagi langkah ‘mengorbankan’ masa depan mereka. Kenyataan yang akan mereka hadapi sungguh berbeda dengan apa yang ada sekarang ini. Kita boleh mendapatkan yang tidak ideal, dulu, dan seperti inilah kondisi kita sekarang.

Tetapi jangan sampai hal ini menimpa pula anak cucu kita, karena kita dituntut untuk meninggalkan generasi yang lebih baik.(*)



BACA JUGA