Saturday, 7 October 2023 | 06:10 Wita

Menjaga Stabilitas Ruhani di Arena Politik (2)

Editor: Humas DPW Hidayatullah Sulsel
Share

Oleh : Bachtiar Aras,
Aktivis Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Pada dasarnya, setiap fase hidup kita, seluruhnya harus selalu tersinari dengan stabilitas ruhiyah yang baik. Ada kalanya kita melewati sejumlah peristiwa yang memerlukan dukungan dan suplai ruhani lebih kuat dari peristiwa lainnya.

Fase pertarungan politik, adalah satu di antara fase perjuangan yang sangat memerlukan kualitas ruhiyah kuat. Itu karena seseorang dalam fase ini akan banyak bersentuhan dengan berbagai godaan, gangguan, bisikan setan yang bisa menjatuhkannya dalam lembah dosa dan maksiat.

Beberapa persiapan ruhiyah yang penting dijalankan di tengah kancah pertarungan politik adalah:

Pertama, terus menerus meluruskan niat dan memantau kadar keikhlasan. Seseorang yang memasuki arena pertarungan politik, berarti ia akan berinteraksi dengan sisi sensitif dalam kemanusiaannya, yakni yang berurusan dengan masalah harta dan kekuasaan.

Adakalanya orang menyangka bahwa jabatan atau kedudukan sosial bisa menghantarkannya pada kehormatan yang dapat membahagiakan. Untuk itu, banyak orang siap menyuap, menyogok dan berbuat apa saja untuk menduduki jabatan tertentu, ditambah dengan asumsi bahwa tempat itu nantinya terhomat dan tempat ‘basah’.

Biasanya cara perolehan jabatan seperti ini banyak menimbulkan masalah di belakang hari, terutama menjadi lahan subur bagi para penjilat dan kelompok ‘oportunis’.

Jika ini yang terjadi, bisa dipastikan, karir politik dan kekuasaan yang diperolehnya akan berakhir dan berujung dengan tumpukan kekecewaan, akibat landasan niatnya yang rapuh dan pengkhianatan amanat jabatan.

Jabatan tak selamanya membawa kebahagiaan, bahkan tanggung jawabnya berat di kemudian hari. “Apabila kamu lemah, jangan kamu memangku jabatan; karena itu adalah amanat dan akan jadi penyesalan di hari kiamat kelak.” Demikian petuah Rasulullah saw kepada Abu Dzar Al-Ghifari suatu saat.

Keikhlasan dan hakikat niat, tidak terletak pada ucapan seseorang melalui lisannya, ‘demi ini’ dan ‘untuk itu’. Tetapi keikhlasan niat harus merupakan dorongan dalam hati dan berfungsi saat seseorang melakukan ragam aktifitas.

Orang yang hatinya terbiasa menjalankan perintah Allah, akan lebih mudah baginya menghadirkan niat menuju kebaikan dan keikhlasan. Tapi orang yang condong pada dunia dan biasa tunduk pada hawa nafsunya, sangat sulit menghadirkan niat ikhlas dan sangat
sulit pula menjalankan aktifitas kebaikan yang harusnya ia lakukan, kecuali dipaksakan.

Kedua, janganlah mudah tersanjung, terlebih tergiur oleh pujian. Ada banyak kemungkinan dan ancaman di balik pertarungan politik. Seperti ungkapan yang banyak disebutkan orang bahwa dalam dunia pertarungan politik, tak ada teman maupun lawan abadi.

Sebuah dukungan, bisa saja bermakna ‘menjilat’ untuk meraih keuntungan sepihak. Sebuah pujian, mungkin berefek penjatuhan nama baik, bila pujian itu ternyata tak sesuai dengan kenyataan nantinya.

Itulah sebabnya dalam sebuah hadits dari Abu Bakrah ra disebutkan seorang lelaki telah memuji seorang lelaki di hadapan Nabi saw, lalu Rasulullah saw bersabda, “Celaka kamu. Kamu telah memenggal leher temanmu. Kamu telah memenggal leher temanmu.” Rasulullah saw mengulangi ucapan tersebut beberapa kali.

“Sekiranya seseorang di antara kamu mesti memuji sahabatnya maka hendaklah dia berkata aku kira si fulan itu begini-begini, Allah lah yang lebih mengetahui tentang dirinya. Aku tidak memuji siapa pun di hadapan Allah. Aku menganggapnya begitu dan begini, sekiranya dia memang mengetahui hal itu.” (HR. Muslim).

Dukungan dan pujian terhadap suatu partai politik, terkadang bisa memunculkan angin sepoi yang lalu menghanyutkan. Dukungan dan pujian dalam berpolitik, bisa membuat seseorang melambung tinggi, lalu jatuh.

Dukungan dan pujian dalam pertarungan politik, bisa mengakibatkan kelengahan dan kelalaian hingga mudah mengikuti keinginan pihak yang memuji. Dukungan dan pujian juga bisa menjadikan seseorang ujub dan bangga dengan dirinya sendiri, hingga mengecilkan pihak lain.

Perihal sombong, Rasulullah mendefinisikan dalam sebuah riwayat, “Al kibru (sombong) adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR Muslim).

Dua kata kunci, menolak kebenaran dan meremehkan manusia, itulah sombong. Ketika ada rasa ingin menonjolkan dan membanggakan diri, ketika hati kita keras menerima nasihat terlebih dari yang lebih yunior, ketika pendapat kita enggan untuk dibantah bahkan tidak jarang dipertahankan dengan dalil yang dipaksakan, ketika kita tersinggung tidak diberi ucapan salam terlebih dahulu, ketika kita berharap tempat khusus dalam sebuah majelis, ketika kita merasa tidak enak gelar ustadz tidak disebut, ketika kita tersinggung titel dan jabatan yang dimiliki tidak disebut, maka jangan-jangan virus takabbur telah meracuni diri kita.

Islam mengajari kita cara mawas diri agar tidak terjebak dalam sikap merasa lebih baik. Ketika kita melihat seseorang yang belum dewasa, kita bisa berkata dalam hati, “Anak ini belum pernah berbuat maksiat, sedangkan aku tak terbilang dosa yang telah kulakukan, maka jelas anak ini lebih baik dariku.”

Ketika kita melihat orang tua, “Orang ini telah beramal banyak sebelum aku berbuat apa-apa, maka sudah semestinya ia lebih baik dariku.”

Ketika kita melihat seorang berilmu, “Orang ini telah dianugerahi ilmu yang tiada kumiliki, ia juga berjasa telah mengajarkan ilmunya. Mengapa aku masih juga memandang ia bodoh, bukankah seharusnya aku bertanya atas yang perlu kuketahui?”

Ketika kita melihat orang bodoh, “Orang ini berbuat dosa karena kebodohannya, sedangkan aku? Aku melakukannya dengan kesadaran bahwa hal itu maksiat. Betapa besar tanggung jawabku kelak.” Inilah sepatutnya menjadi prinsip agar terhindar dari virus ujub atau kesombongan.

Ketiga, perbanyaklah hubungan dengan Allah SWT untuk memperkuat tarikan langit daripada tarikan dunia. Tarikan duniawi dalam fase pertarungan politik akan lebih keras ketimbang fase waktu lainnya. Di sinilah, seseorang akan lebih mungkin mempunyai interest, korupsi, manipulasi, untuk menarik keuntungan pribadi.

Memang realitasnya, pada level kekuasaanlah peluang terbuka lebih lebar bagi seseorang untuk menyalurkan hasrat nafsunya. Kondisi seperti ini, sangat mungkin diawali dari kekeliruan perkiraan, dan menganggap bahwa kebahagiaan terletak pada berapa banyak materi atau harta yang dimiliki.

Ambillah contoh anggapan, bahwa apabila seseorang mempunyai kedudukan tinggi, rumah mewah, mobil yang wah, pasangan menawan, perusahaan mentereng dan simpanan uang di bank yang menumpuk, serta kekayaan lainnya, maka orang itu bisa disebut bahagia.

Kenyataannya banyak orang kaya seperti gambaran demikian bahkan lebih, terkadang disebut milyarder, status sosialnya pengusaha, pejabat atau lainnya, ternyata kehidupannya menderita, hingga tak jarang ia terkena penyakit stress oleh berbagai terpaan masalah.

Masalah bisa timbul dari persoalan perusahaannya, kadangkala dari persoalan keluarganya, pasangan berlaku serong, anak yang tak henti memunculkan masalah, atau sebab lain. Dalam kondisi seperti itu nyatalah bahwa kedudukan dan harta tidak bisa selalu memecahkan masalah. Kedudukan dan harta tidak menjamin seseorang akan bahagia.

Hasan Al Bashri ra pernah mengatakan, “Sebaik-baik dunia adalah apa yang dimiliki orang beriman, sebab ia beramal dan mengambil dunia sebagai bekal meniti jalan menuju surgawi. Dan seburuk-buruknya dunia adalah apa yang dimiliki orang kafir dan munafik, karena ia telah menyia-nyiakan kehidupannya dan mencari bekal menapaki jalan ke neraka.”

Keempat, perbanyaklah bergaul dengan masyarakat, terutama masyarakat bawah, hingga kita dapat merasakan penderitaan mereka dan berusaha sekuat tenaga turut meringankan beban mereka.

Sikap ini penting untuk lebih banyak dilakukan pada fase pertarungan politik yang kian panas. Bukan untuk membeli dukungan dan menarik suara, tapi lebih pada mengingatkan keprihatinan, kesulitan, dan beban yang dirasakan masyarakat pada umumnya.

Seorang mukmin yang berjuang di bidang politik harus memiliki kekuatan ruhiyah memadai dengan banyak bergaul bersama masyarakat di bawahnya.
Tentu saja, hal ini tidak bisa dilakukan seseorang kecuali bila ia sering melakukan latihan. Mengunjungi mereka, merasakan penderitaannya, sambil memberikan bantuan serta solusi atau pemecahan atas penderitaan masyarakat yang dipimpinnya.

Umar bin Khattab pernah meneteskan air mata ketika melihat keadaan seorang ibu. Ketika Umar mengadakan inspeksi malam melihat kondisi sebenarnya masyarakat yang dipimpinnya. Ketika itu, Umar menyaksikan seorang pura-pura memasak gandum padahal ternyata batu, untuk menenangkan anak-anaknya yang menangis menahan lapar.

Menyaksikan hal itu, sang khalifah langsung menuju gudang mengambil sekarung gandum. Masya Allah, dengan tangan dan pundaknya sendiri, beliau membawa sekarung gandum untuk diberikan pada sang ibu tadi.

Kelima, Memanfaatkan momen pendekatan diri pada Allah di malam hari. Setan akan selalu menyerang melalui bisikan-bisikan. Bisikan sifatnya halus dan nyaris tak terasa pengaruhnya. Setan, menjerumuskan seseorang dari segala kebaikan dengan cara menyukai keburukan.

Setan ada di mana-mana mengintai dari segala penjuru yang tidak kita sadari.
Dalam hiruk pikuk pertarungan politik, gangguan atau godaan setan lebih hebat lagi. Bisikannya akan lebih banyak lagi memenuhi lintasan hati dan pikiran.

Di sinilah, kita membutuhkan pertolongan dan kekuatan dari Allah SWT. Salah satu cara yang paling baik untuk membentengi diri dari gempuran setan dengan tetap mengusahakan sepertiga akhir malam untuk mendirikan shalat tahajjud.(habis)



BACA JUGA