Friday, 1 March 2024 | 16:45 Wita

Mempertemukan Tawakkal, Nasib dengan Takdir

Editor: admin
Share

Oleh : Ust Drs Nasri Bukhari MPd, Ketua DPW Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Pernakah mendengar pendapat mengatakan, bila telah ditakdirkan terjadi, semua pasti terjadi, baik dia telah berdoa dan berusaha ataupun tidak. Sebaliknya, bila tidak ditakdirkan terjadi maka tidak terjadi, baik dia memohon ataupun tidak.

Terkesan pendapat itu benar secara mutlak, sehingga yang meyakininya tidak mau lagi berusaha bahkan berdoa sama sekali. Memandang remeh doa dan melemahkan mujahadah.

Pendapat tersebut bisa diluruskan dengan sebuah pertanyaan balik. Bukankah tidak kenyang seseorang kalau tidak makan. Manusia tidak berkembang biak kalau nikah dan kawin?

Kekeliruan berpikir dapat memunculkan persepsi, bahwa takdir itu berpihak pada orang tertentu. Yang kaya adalah untuk orang profesional dan pintar. Dan yang diterima doanya hanya untuk kyai dan ustadz. Yang jadi penguasa adalah memiliki trah orangtua penguasa.

Padahal, manusia dikaruniai Allah masing-masing akal dan pikiran untuk dimanfaatkan menjadi maju dan berkembang dan menjaga keberlangsungan hidup. Lalu kenapa tidak dimanfaatkan dengan baik.

Sementara hewan saja yang diberikan hanya naluri dibanding manusia dilengkapi akal dan naluri, namun pun hewan tetap berusaha untuk bertahan hidup dan menjaga keberlangsungan hidupnya.

Kekeliruan Memahami Tawakkal

Tawakal yang keliru muncul dari persepsi memahami takdir sama dengan nasib. Dia berpendapat, bahwa kondisi hidup yang dialaminya adalah takdir dari sebuah nasib dan kepasrahan yang harus diterimanya.

Tak heran orang sering beralibi dengan pepatah, ‘apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur’. Padahal bubur itu sendiri bisa jadi bukan akhir dari nasib, tapi bahan utama yang bisa menjadi makanan bernilai ketika diolah menjadi berbagai aneka menu yang nikmat.

Tawakkal itu bukan nasib, tawakkal juga bukan takdir yang datang begitu saja. Dalam tawakkal terdapat mujahadah, usaha keras dan kebulatan tekad.

Memiliki sifat tawakkal adalah sifat takdir baik, yakni sifat kebaikan pada diri seseorang. Sehingga merubah takdir menjadi takdir. Umar bin Khatab pernah berkata “lari dari takdir Allah, menuju takdir Allah yang lain”

Nasib itu kepasrahan menerima keadaan tanpa ada upaya lagi merubahnya. Sementara tawakkal adalah sifat revolusioner, yakni kesungguhan berusaha menggunakan potensi diri untuk merubah nasib menjadi lebih baik dan dikuatkan dengan doa.

Agus Mustofa dalam bukunya “Mengubah Takdir”, bertutur , bahwasanya nasib bukanlah takdir. Nasib itu sendiri akan mengarah kepada perilaku-perilaku yang statis, pasrah, dan malas.

Sedangkan takdir itu berorientasi kepada perilaku yang dinamis serta meniscayakan kreatifitas dengan usaha maksimal untuk meraih takdir yang baik.

Hubungan Sebab Akibat

Usaha maksimal lalu bertawakkal serta takdir adalah hubungan kausalitas, karena menyangkut hubungan sebab akibat antara dua atau lebih sebuah keadaan. Sebab itu yang memicu suatu akibat. Mujahadah lalu tawakkal adalah sebab, sedangkan takdir itu adalah akibat.

Ibnu Qayyim Al Jauzy mengatakan, ‘sesuatu ditakdirkan dengan berbagai sebab. Salah satu sebab itu adalah doa. Segala sesuatu ditakdirkan tak lepas dari sebab-sebabnya.

Oleh karena itu, bila seorang hamba membawa sebab tersebut, pasti terjadi. Namun bila dia tidak membawa sebab tersebut takdir tidak terjadi.

Tawakkal yang baik adalah dengan mujahadah, tidak bermaksiat pada Allah dan doa. Doa bulkan pelengkap dari tawakkal. Doa adalah senjatanya orang beriman.

Bahkan Ibnu Qayyim mengatakan, ‘doa merupakan unsur sebab paling utama. Tidak ada sebab yang lebih bermanfaat dari pada doa untuk memperoleh sesuatu yang diharapkan.

Barang siapa diilhami berdoa, berarti ia akan mendapatkan ijabah. Alah Ta’ala berfirman. “….berdoa kepada-Ku, niscaya aku akan kabulkan” (QS.Ghafir;60). Ibnu Katsir mengatakan, ‘doa adalah ibadah.

Dengan demikian tawakkalnya orang beriman manakala dia tetap pada ketaatan kepada-Nya, maksimalitas mujahadahnya telah dilakukan lalu dipasrahkannya segalanya kepada Allah dengan doa penuh harap.

Barulah ada alasan Allah menentukan takdirnya untuk memudahkan segala urusannya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi segala sesuatu”. (Q.S At-Talaq [65] : 3).(*)



BACA JUGA